Part 3

1K 80 33
                                    

Sesampainya di rumah, aku langsung berlari menuju kamarku. Menutup pintu lalu menyalakan musik dengan volume yang cukup keras, aku hanya tidak tahu cara mengembalikan mood-ku saat seperti ini.

Aku memejamkan mata seraya mengikuti alunan lagu milil Brian Admas. Disela-sela ketenanganku, aku mendengar ketukan pintu. Saat itu aku sangat berharap bukan Bunda yang mengetuk pintu-ku.

Aku tetap pada posisiku yang tengkurap, tanpa berniat melihat siapa orang yang baru saja membuka pintu kamarku. Kini, aku merasakan kasurku sedikit bergoyang, menandakan bahwa seseorang telah bergabung di atas kasurku.

"Dek, sebentar lagi Mbak menikah..."

Ternyata itu suara Nayla, kakak pertamaku. Tangannya yang halus mengusap lembut pucuk kepalaku.

Aku mengecilkan volume musiknya, lalu merubah posisiku menjadi duduk seraya menghormati kakak terutua. Namun, aku masih diam, memberi ruang untuk Nayla melanjutkan ucapannya.

"Itu artinya, Mbak akan pergi dari rumah ini, bahkan dari Negara ini. Mbak sangat berharap kamu baik-baik disini, sama Bunda, Papa, dan Mas Bian."

Aku menghela napas sebelum akhirnya aku menjawab, "Mbak, kita udah sering kali bicarain soal ini kan? Dan udah sering kali juga Lia bilang sama Mbak, kalau Lia baik-baik aja."

"Nggak, Dek. Kamu tuh bohong sama Mbak, kamu memang selalu bilang kalau kamu baik-baik aja, tapi kenyataannya? Berhenti bohong, Lia!"

Aku tahu pasti jika saat ini Nayla sedang serius. Terlihat dari beberapa tutur katanya, ia tidak lagi memanggilku 'Dek', melainkan memanggilku dengan sebutan Lia.

"Kamu harus tahu, bahwa semuanya sudah berbeda, semua sudah nggak sama lagi, Lia. Kamu harus paham akan perubahan itu, dan kamu harus mengerti, jangan buang waktu kamu untuk meratapi hal ini, Lia."

Aku menatap kesal ke arah Nayla. Aku lelah membahas masalah ini, karena aku tahu pada akhirnya semua akan sia-sia. Karena ujung-ujungnya aku akan terus lari dari masalah ini.

"Mbak, ada dua hal yang paling aku selali dalam hidupku saat ini! Satu, kepergiannya, dan yang kedua adalah kerinduan yang tak berujung!"

Setelah mengatakan itu, aku langsung berlari ke kamar mandi, di dalam sana aku meratapi keegoisanku yang terus melarikan diri dari masalah. Ada banyak hal yang tidak mereka ketahui perihal penyesalanku. Aku tahu, mereka juga punya penyesalan sendiri perihal kematian Ayahku. Tapi saat itu aku masih sekolah, emosiku masih belum stabil. Dan aku masih belum bisa berpikir rasional.

"Mbak harap, saat pernikahan Mbak nanti, kamu sudah kembali menjadi Lia yang dulu Mbak kenal, tidak seperti ini."

Setidaknya itulah kata-kata Nayla yang aku dengar sebelum suara pintu tertutup, yang aku tahu saat itu aku menangis meraung-raung di bawah air yang mengalir deras dari shower mandi-ku. Aku berpikir seakan air mengalir dapat menyamarkan air mataku.

Aku benci menangis, aku benci terlihat lemah di hadapan orang lain, termasuk diriku sendiri. Maka dari itu aku butuh gelap untuk menangis.

Aku lupa kapan terakhir kali aku menangis, bahkan pada saat kematian Ayah, aku tidak menangis. Saat iti aku justru terlihat tenang dan damai, banyak orang yang mengira jika aku tidak merasa kehilangan, padahal saat itu aku begitu hancur, bahkan aku merasa sebagian diriku telah terbawa mati.

Saat itu aku hanya menangis dalam diam, aku bukan orang yang mudah menggambarkan suasana hatinya saat ia sedang bersedih, maka dari itu aku hanya bisa diam, menutupi semua kehancuran di dalam diriku.

Aku pun tahu, bahwa Bunda dan Kakaknya Nayla butuh dukungan. Aku juga tahu jika Mas Bian tidak bisa memegang dua kendali, maka dari itu aku merasa harus kuat. Setidaknya di hari itu, biarkan aku menjadi penopang untuk Nayla berdiri, atau menjadi sandaran untuk Nayla menangis.

Tidak peduli jika nantinya aku akan terserang flu akibat kelamaan menangis di bawah guyuran shower, yang pasti saat ini aku butuh meluapkan emosi dalam diriku melalui air mata.

"Maaf," lirihku.

Hanya kata itu yang terus aku ucapkan ketika aku mulai mengingat Ayah. Untuk alasannya mengapa, hanya aku yang tahu.

Setelah merasa lelah menangis, aku keluar dari kamar mandi. Suasana kamarku masih hening, aku berpikir mungkin Nayla sudah kembali ke apartemennya jadi rumah kembali sepi.

Setelah memilih pakaian tidur, aku langsung memutuskan untuk naik ke kasur kesayanganku. Merebahkan diriku lalu menatap langit-langit kamar, hingga perlahan rasa kantuk menyerangku. Dan akupun tertidur.

******

Pagi ini, aku sudah siap dengan seragam sekolahku. Sejenak aku berdiri di depan cermin, memperhatikan diriku yang terlihat kacau dengan mata sembab dan hidung yang sedikit kemerahan.

Sembari bersenandung kecil, aku mulai keluar dari kamarku dan menuruni tangga. Dari kejauhan aku melihat meja makan yang kosong. Sejenak aku menghela napas sebelum akhirnya aku kembali melanjutkan langkahku.

Aku melihat di sana, sudah tersedia roti dan beberapa selai, tak lupa ada secarik kertas yang bisa aku pastikan bahwa itu pesan dari Bunda. Tak mau pikir panjang, aku langsung menarik salah satu kursi dan mulai menyantap sarapan pagiku dengan santai.

Disela-sela menikmati makanan, aku menatap kursi dihadapanku satu persstu. Jika dulu kursi itu penuh, dan suasana pagi selalu ramai, maka jangan harap kali ini akan terasa sama.

Sejak Ayah meninggal, semua membelenggu, namun masih ada sedikit kebersamaan walau hanya sekadar makan malam atau sarapan. Tapi setelah beberapa tahun Ayah meninggal, Bunda memilih menikah lagi dengan Pria asal Canada bernama Gustavo.

Awalnya Mas Bian tidak setuju, tapi melihat Papa yang terlihat sayang dengan anak-anak Bunda, Mas Bian jadi luluh dan akhirnya merestui mereka. Setelah Bunda menikah, beberapa bulan kemudian Bunda dan Papa mulai sibuk bulak-balik ke luar Negeri untuk mengurus beberapa aset milik Papa. Dan tentunya, keluargaku bisa seperti sekarang, memiliki rumah mewah, dan fasilitas serba ada berkat Papa.

Hingga beberapa bulan kemudian, Nayla mulai sibuk dengan karirnya, mengingat menjadi wanita karir itu adalah impian Nayla sejak kecil. Bahkan kini Nayla telah mencapai semuanya, menjadi sekertaris, dan mendapatkam calon suami CEO di tempatnya bekerja. Ya, seperti di drama-drama.

Kemudian setelah itu Mas Bian, yang juga sibuk melanjutkan study-nya di universitas ternama di kota Bandung. Dan kemungkinan Mas Bian pulang hanya saat liburan semester.

Jadi, satu-satunya yang masih menetap siang dan malam dirumah sebesar ini hanya aku dan beberapa asisten rumah tangga.

Jika mengingat itu, aku hanya bisa tertawa getir. Rasa rindu untuk kembali bersama selalu ada, bahkan harapan untuk kembali merasakan hangatnya sebuah keluarga selalu tertanam dalam hati. Tapi, aku tahu, jika semua itu tidak akan pernah mungkin.

Aku menghela napas sebentar, sebelum akhirnya aku memutuskan untuk pergi. Sepanjang perjalanan aku hanya fokus ke arah depan, sampai akhirnya aku melihat seseorang yang tidak asing sedang berdiri di halte ujung komplek.

"Nania, ngapain disini?" tanyaku setelah berhasil menepikan motorku.

"Nunggu angkot."

"Bareng aja yuk!"

Nania diam sejenak, mungkin ia sedang berpikir untuk menerika tawaranku atau nggak. Mengingat kami tidak terlalu dekat, dan pertama kali mengobrol karena insiden di toilet saja.

Tapi setelah lama berpikir akhirnya Nania menerima ajakanku, sepanjang perjalanan kami hanya diam saja. Hingga akhirnya kami sampai di parkiran sekolah.

Nania turun dari motorku, disusul dengan aku. Aku pikir Nania langsung pergi, tapi ternyata ia masih berada di belakangku. Menyadari itu aku buru-buru menaruh helm classic milikku. Lalu mengajak Nania masuk ke kelas.

Tapi belum sempat aku bersuara, Nania lebih dulu pamit untuk duluan. Katanya dia ingin masuk kelas bersama temannya, aku yang terkejut hanya mengangguk mengiyakan.

Sampai aku menyadari bahwa teman yang di maksud Nania adalah Abi. Ternyata Nania dekat dengan Abi?

•TBC•

TINGGALKAN JEJAK KALIAN
⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐⭐

Everything I Do (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang