Part 10

739 57 7
                                    

Semenjak saat dimana aku mengunjungi rumah Abi untuk melawat, Abi kembali menghubungiku, memintaku untuk menemuinya disebuah cafe daerah Kemayoran, Jakarta pusat. Dan aku menyetujuinya setelah beberapa waktu aku berdebat dengan Olin dan Bella di grup chat milik kami.

Bella dan Olin melarang keras untuk aku bertemu lagi dengan Abi, tapi aku tidak bisa egois seperti itu. Aku berpikir Abi membutuhkanku, jadi aku bersedia menerima ajakannya walau aku tahu kemungkinan besar akan ada risiko paling bahaya yang menungguku.

Aku melihat arloji di tanganku, sudah sepuluh menit aku menunggu dan tidak ada tanda-tanda kedatangan Abi. Sial, aku merasa dikerjai saat itu, aku sedikit kesal dan berniat jika sampai tiga puluh menit Abi tidak kunjung muncul, aku akan pergi.

Namun di menit berikutnya aku melihat Abi yang berlarian kecil ke arahku, raut wajahnya nampak kusut dan aku tidak tahu penyebabnya. Perlahan Abi mulai cerita mengapa ia terlambat.

Dan aku hanya meresponnya dengan anggukan. Sesekali aku tertawa jika celoteh Abi lucu atau terkesan tidak nyambung. Aku terlalu menikmati kepahitan kopi dalam cangkirku, sampai aku tidak tahu jika Abi memperhatikanku.

"Sejak kapan menyukai kopi?" tanyanya.

Aku hanya menggidikan bahu sebagai jawaban, karena aku sendiri pun tidak tahu sejak kapan. Tapi melihat tatapan Abi yang berubah menjadi pias, membuatku tidak tega dan akhirnya aku menjawabnya asal. Aku berkata bahwa aku menyukai kopi sejak aku tahu seseorang yang aku cintai tidak membalas kembali perasaanku.

Dan aku mengintip dari sudut mataku kalau Abi terdiam, ia terlihat seperti termerenung. Dan aku tidak peduli itu, walau hati kecilku berteriak memintaku bertanya ada apa, tapi aku menahannya sekuat mungkin.

"Aku dan Nania..,"

Aku yang mendengar nama Nania langsung menatap Abi dengan sebelah alisku yang sedikit naik, bertanda bahwa aku bertanya ada apa?

Apakah Nania dan Abi akan segera menikah?

Aku mulai berpikiran gila tentang mereka, hingga akhirnya Abi kembali bersuara. Abi mengatakan bahwa dirinya dengan Nania sudah berakhir, hubungan mereka putus karena Nania memilih untuk menjadi lebih baik dalam agama-nya.

Waktu itu, rasanya aku berperang batin, antara senang sekaligus bingung. Tapi aku mencoba mengendalikan diriku, aku mencoba terlihat biasa walau pada kenyataannya aku sangat bahagia.

Aku tahu aku egois, tapi pantaskah aku dibilang egois saat aku belum pernah sekalipun merasakan bagaimana dicintai oleh Abi? Aku tidak merebut Abi, bahkan disaat mereka putus pun aku harus tetap sadar akan posisiku.

Ingin rasanya aku berteriak pada Abi, menanyakan bagaimana caranya agar ia melihatku sebagai perempuan, bukan sebagai sahabat yang diberikan cinta dengan takaran paling sedikit. Aku ingin menjadi satu-satunya wanita yang dipilih Abi, tapi rasanya mustahil.

Oh, Tuhan. Bolehkah aku egois dengan berkata bahwa Abi milikku? Hanya milikku?

Tidak, aku tidak boleh egois dengan memaksa Abi untuk melihatku, aku ingin Abi terjatuh untukku karena pilihan bukan paksaan. Dan kini, yang bisa aku lakukan hanya membuat Abi merasa nyaman berada di dekatku.

"Lia, perihal dalam surat yang waktu itu aku kasih..,"

Oh tidak, Abi membahasnya? Aku harus menjawab apa? Aku belum siap menerima tamparan keras akan kenyataan yang lagi-lagi bisa saja membuatku terjatuh. Aku menang bodoh karena terlalu berpikir ke arah negatif, tapi aku merasa tidak ada yang salah dengan pemikiranku. Jika saja orang lain atau bahkan Abi ada di posisiku, mungkin mereka akan berpikiran yang sama.

"Aku mengerti, Ab."

Untuk pertama kalinya aku mengikuti kebiasaan wanita, yaitu tidak pernah mau mendengarkan lebih lanjut perihal kejujuran. Aku memang terlalu naif dalam menghadapi takdir, aku terlalu takut untuk jatuh kembali.

"Nggak, Lia. Kamu belum mengerti, maksudku, perihal dari kataku yang mencintaimu benar adanya,"

Sejenak aku menahan napas, bahkan mungkin saat ini aku seperti seekor orang bodoh yang melongo hanya karena ucapan kata cinta? Dasar.

"Aku minta maaf untuk segala hal, bahkan untuk rasamu yang selama dua tahun tidak aku balas secara terang-terangan."

"Aku baik-baik saja, Ab."

Abi menatapku dalam-dalam, jujur saat itu aku merasa takut dengan tatapan Abi, aku bahkan tidak bisa mengendalikan diriku untuk terlihat bahwa aku baik-baik saja. Karena di dalam hatiku, ada suara yang bersorak kegirangan, dan aku tidak tahu alasan mengapa hatiku merasa girang.

"Lia, ajari aku mencintaimu."

Nyut!

Saat itu juga hatiku rasanya mencelos, entah apa alasannya yang pasti dengan Abi berbicara seperti itu, aku merasa ada tanggung jawab besar yang akan segers menghampiriku. Kini, aku menatap Abi dengan intens, aku mencoba mencari kebohongan atau maksud candaan dari matanya, namun sial, lagi-lagi aku tidak bisa membaca tatapan Abi. Aku terlalu kacau dengan pikiranku.

"Ab, aku tidak mau bermain hati lagi. Jika tanpa kepastian, rasanya mustahil untuk kita terikat hanya dengan komitmen." kataku.

"Lia, apa komitmen untuk saling bertahan saja tidak cukup? Apa aku harus memberimu status agar kamu mau membuka ruang untuk aku mencoba membalas rasamu lebih besar daripada kemarin?"

"Semuanya tidak semudah yang ada dipikiranmu, Ab." lirihku.

Aku bahkan tidak mengerti dengan perasaanku, aku benar-benar kacau sepertinya. Aku memang senang karena akhirnya Abi kembali padaku, tapi aku merasa seperti ada yang mengganjal dalam diriku.

Beberapa kali Abi menjelaskan padaku alasan mengapa ia tidak mau ada status di antara kami, katanya jika ada status akan banyak tuntutan dan berpotensi putusnya suatu hubungan. Rasanya aku ingin menyangkal pendapat Abi, tapi aku memilih diam.

"Lia, are you okay?"

"Aku hanya sedang berpikir, Ab."

Abi menarik daguku agar aku menatapnya dan tak lagi melengos, kini manik mata kami bertemu, aku bisa menemukan kesungguhan dalam mata Abi. Dan kemungkinan Abi hanya akan menemukan kebingungan dalam mataku.

"Lia, kita sudah dewasa, tidak bisakah kita menjalankan hubungan secara alami? Maksudku, berjalan seperi air mengalir saja?"

"Abi, air mengalir tidak pernah ada ujungnya, sekalipun kamu mengukurnya atau mengikuti kemana arah air itu berakhir. Dan itu artinya, jika kita memulai hubungan seperti air mengalir, maka sampai kapanpun tidak akan ada kemajuan dalam hubungan kita. Aku tahu, kamu masih takut untuk memberi status, bukan karena kamu trauma, tapi lebih tepatnya karena kamu belum mencintaiku dengan takaran yang pas!" ujarku sembari tersenyum kecut.

"Lia, please..."

"Jangan paksakan hatimu untukku, Ab. Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan? Merasa dicintai sampai akhirnya aku tahu bahwa kamu hanya berpura-pura."

"Lia..."

"Jika kamu di hadapkan dua pilihan, kamu akan memilih aku yang mencintaimu atau Nania yang kamu cintai?"

Abi terdiam, hingga kemudian ia berkata, "Jangan membuatku memilih, Lia."

Aku tersenyum kecut mendengar itu. Aku memilih bergelut dengan pikiran dan perasaanku sendiri, hingga aku merasa Abi menggenggam tanganku, ia memintaku untuk percaya padanya.

"Kamu memintaku mempercayaimu dalam waktu singkat, jadi mari kita lihat dalam detik ke berapa kamu menjawab pertanyaanku. Apa kamu masih mencintai Nania?" sarkasku.

•TBC•

DOUBLE UP!!!🙈

Yeuuuu, baca sambil dengerin mulmed yah🙊 Maaf up-nya tengah malem begini, dan lagi-lagi sedikit. Otakku lagi ngeblank pas dipaksa inget masalalu, jadinya agak tersendat pas proses penulisan chapter ini😒 wkwkwkwkwk

Tapi, semoga kalian suka yah! Happy reading gengs❤

Love dari Nabil😘

Everything I Do (COMPLETED)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ