Aku . . . bahkan aku tak menyesal dulu menyuruh Ayasha untuk menggugurkan kandungannya, kalau saja Ayasha tidak menitipkan bayinya kepadamu mungkin kita tidak akan bertemu bukan? tambah Satria masih tetap di dalam hatinya.

Ayasha yang duduk di depan Sasti dan Satria merasa muak melihat pemandangan didepannya, atau lebih tepatnya ia muak melihat bagaimana Satria memandang Sasti. Pandangan memuja, pandangan yang siapapun melihatnya pasti akan tau kalau lelaki itu tergila-gila dengan perempuan yang sedang ia lihat.

Dulu pandangan itu hanya untuknya, tapi sekarang pandangan itu bukan lagi milik Ayasha, melainkan milik perempuan yang merawat bayinya. Ayasha menghela nafasnya.  Kalau saja dulu aku tak memberikan Naresh kepada Sasti mungkinkah hal seperti ini akan tetap terjadi batin Ayasha yang bertanya-tanya.

Ayasha memilih memejamkan matanya, melihat Satria dan Sasti membuat kepalanya menjadi pening. Ditambah lagi dengan diagnosa yang dikeluarkan oleh dokter mengenai keadaan Naresh.

Kenapa harus Naresh? Kenapa harus anakku?

Ketukan di pintu kamar membuat Ayasha kembali membuka matanya, dilihatnya seorang perempuan masuk ke dalam dengan kedua tangan yang penuh oleh kantong plastik berwarna putih.

"Selamat malam pak" ucap perempuan tersebut sambil mengangguk sopan ke arah Satria.

"Taruh makanannya di meja sini Rin" perintah Satria kepada sekretarisnya.

Dibantu Sasti dan juga Ayasha, Arin pun mengeluarkan makanan yang Satria pesan lalu menatanya di meja.

"Ini kamu engga salah Sat pesen makanan sebanyak ini?" tanya Sasti yang heran melihat banyaknya makanan yang dibawa oleh sekretarisnya Satria.

"Kamu kan engga makan dari kemarin Sas, jadi aku sengaja pesen yang banyak" jawab Satria dengan santainya.

Sasti menatap Satria sambil menggelengkan kepalanya tak percaya mendengar jawaban yang Satria lontarkan. Sedangkan Ayasha, ia menatap Satria pilu, lagi-lagi Sasti yang dipikirkan oleh lelaki itu.

"Saya permisi pak" Setelah menata makanan di meja, Arin pun pamit hendak pulang.

"Loh, kamu ikut makan aja. Ini banyak banget loh makanannya" Sasti berinisiatif untuk mengajak sekretarisnya Satria untuk makan bersama mereka.

Namun Arin menolak dengan sopan, "Maaf bu, saya pulang saja lagi pula saya sudah janji bertemu dengan teman-teman waktu sekolah."

"Ohh, mau reuni ya? Wahh seru dong ya. Hati-hati ya kalau begitu" ucap Sasti sambil mengantar Arin hingga ke depan pintu kamar.

"Iya bu, makasih ya bu" Arin pun pamit undur diri, lalu Sasti menutup pintu kamar dan kembali masuk ke dalam.

"Kamu sekretarisnya bukan diajak makan Sat, basa basi gitu, terus ucapin terima kasih udah anterin makanan" tegur Sasti yang melihat sikap cuek Satria.

Satria mengerutkan keningnya mendengar ucapan Sasti, "dia anterin makanan karena aku yang suruh, lagian kan dia emang kerja sama aku."

"Ya aku tau dia kerja sama kamu, tapi apa susahnya bilang makasih sih? hargai sedikit orang lain."

Satria menatap datar Sasti, lalu memalingkan wajahnya menghadap ke makanan yang ada di atas meja. Tangan kirinya pun terulur membuka satu bungkusan, dan tangan kanannya mengambil sendok lalu ia makan dengan lahap tanpa memperdulikan Sasti yang berdecak melihat tingkah Satria.

Bossy! Batin Sasti yang tak suka.

--

Vito berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri lorong lantai 6 menuju kamar VIP yang Sasti tempati, pikiran dan hatinya gelisah tak menentu. Jantungnya yang berdegup lebih cepat membuatnya tangannya mulai mengeluarkan keringat dingin.

DIA (BANYAK DIHAPUS)Where stories live. Discover now