39. Mungkin

4.8K 504 52
                                    

Sekarang aku merasa sudah menjadi manusia aneh. Bagaimana tidak. Rasanya telingaku sensitif mendengar hal-hal yang berbau cinta dan embel-embel di sekitarnya. Rasanya mataku pedih melihat orang yang sedang menari, atau mereka yang memiliki predikat menari.

Aku merutuki diriku sendiri karena tidak merasa senang saat menggamel, meniup suling, atau pun mengiringi orang menari. Padahal aku tahu hanya itu yang ingin terus kulakukan seumur hidupku. Hanya karena membuatku teringat akan Euis? Lalu membuatku tidak bisa menikmati ini semua? Lemah! Aku tidak tahu diriku selemah ini.

"Aku pernah bahagia, waktu itu.
Aku pernah bahagia, dulu.
Aku pernah bahagia, saat denganmu....

ANJIR!!!

Jems!!?? Lu ngapain sih geblek??!!!"

Terang saja Awang marah-marah. Baru saja kulempar dia dengan pemukul kendangnya sendiri. Bukannya minta maaf aku malah memasang tampang tidak bersalah.

"Puisi lu gak jelas." padahal hati dan pikiranku yang sedang tidak jelas.

"Otak lu yang gak jelas!!" aku terdiam, di dalam hati menyetujui ucapannya.

"Atau jangan-jangan Jems sensi denger puisi lu kali Wang!" aku tidak menjawab, lagi. Kata-kata Bonca sedang menusuk-nusuk hatiku yang pecahannya sudah lebih dahulu tersebar kemana-mana.

Lalu ocehan teman-temanku hanya terdengar bagaikan dengungan pasukan lebah di telingaku. Di pikiranku seperti terputar memori hitam putih. Memori saat aku bahagia. Saat itu. Saat Euis selalu memelukku hangat dengan senyum manisnya. Saat Euis tertawa mendengar ceritaku. Saat Euis marah-marah menyuruhku makan. Saat Euis tersenyum menikmati alunan sulingku.

Ah.

Kenapa hidupku jadi menye-menye?

"Jems? Lu kagak tidur dengan mata terbuka kan??" tanya Awang melayang-layang di depan wajahku. Membuat nyawaku yang memuai kembali lagi ke dalam raganya.

"Emang bisa kaya gitu??"

"Bisa lah, tidur gaya ikan!" aku tertawa. Yah setidaknya belakangan ini aku sudah bisa tertawa. Sebulan tidak dihubungi dan dikabari Euis memaksaku untuk membiasakan diri.

Tapi tetap saja aku merasa aneh. Kenapa aku tidak bisa marah pada Euis? Kenapa aku masih saja menunggunya? Kenapa aku masih merindukannya? Kenapa aku masih saja yakin ia akan menghubungiku suatu saat nanti?

"Kelas gak?" tanya Bonca sambil menggendong ranselnya. Tumben-tumbenan ia membawa ransel.

"Kan gua udah ambil filsafat seni semester kemaren." kataku sambil memandang entah apa, yang jelas mataku terarah ke langit.

"Yaudah, cabut dulu ya." Awang dan Bonca tos denganku dan Merdi yang dari tadi sibuk dengan ponselnya.

Kini tinggal kami berdua. Sama-sama terdiam. Ditambah kantin agak lebih sepi dari biasanya.

"Jems.. Udah lah.. Gua gak tega liat lu gini terus." akhirnya Merdi berbicara. Aku yakin ia tahu alasanku bertingkah tidak jelas seperti tadi.

"Iya..pengennya juga udahan, capek gua gini mulu. Tapi gua kudu apa Mer??" tanyaku, terdengar frustasi. Merdi tak menjawab. Pandangannya menyambut Nonik yang ikut bergabung dengan kami. Ia memandangiku dengan penuh penghakiman.

Kami terdiam. Nonik menghela nafas.

"Jems, intinya lagi-lagi lu dibuat kebingungan karena chat lu gak dibalesin. Sepele tapi bikin ribet."

Ganti aku yang menghela nafas.

"Lagi-lagi ya.. Lagi-lagi."

"Emang pernah gini juga?" Merdi berbisik pada Nonik. Tapi aku bisa mendengarnya.

Katanya mah JodohOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz