5. Workshop

7.3K 643 5
                                    

"Ayo kang buru kang!!" aku memburu kang Yoyo yang masih saja duduk dengan santai di bangku taman.

"Iya sabar atuh weh! Tumben lo malah pengen cepet-cepet kesana, biasanya males." kata kang Yoyo sambil membenahi barangnya. Aku sendiri sudah siap berangkat dengan jaket, sarung tangan, masker, dan tas berisi berbagai suling di punggungku.

"Biar kita gak dibilang telat mulu." alasanku, padahal tidak ada yang pernah protes selama 2 minggu lebih terakhir ini aku dan kang Yoyo selalu datang 1 jam setelah latihan mulai. Ya kami kan tidak harus ikut pemanasan dan sebagainya.

"Ah dateng kecepetan juga bengong Jal." kang Yoyo tetap bangkit berdiri walau makna kata-katanya barusan menyiratkan rasa malas untuk segera berangkat.

"Emang gak mau ngulik dulu?"

"AH IYA BENER!" sekarang malah kang Yoyo yang berjalan mendahuluiku, aku tersenyum kecil. Untuk kami anak seni musik, ngulik itu sangat penting. Karena dari ngulik itu lah kami bisa menemukan apa yang kami mau. Sejauh ini aku dan kang Yoyo hanya ngulik menggunakan aplikasi berbentuk MIDI atau mencoba-coba dengan ada yang di kampus. Ketika bertemu dengan alat yang nantinya akan benar-benar kami pakai pasti beda rasanya.

Perjalanan memakan waktu hampir 1 jam lebih. Kakiku rasanya pegal, jalanan yang cukup padat menyebabkanku berkali-kali menyangga motor Ninja-ku dengan kakiku. Jam di tanganku menunjukkan pukul 15:22 . Hmm, Euis udah ada di ruang latihan belum ya.

"Sebat dulu Jal." kang Yoyo malah mengeluarkan rokoknya. Dasar kaum juru hisap.

"Beuh, duluah ke ruangan deh ya." aku langsung meninggalkan kang Yoyo. Walau tampangku katanya macam rocker, aku tidak pernah merokok sama sekali. Tapi memang aku tidak bisa lepas dari kopi hitam, apalagi ketika sedang membutuhkan inspirasi, ide, dan semacamnya. Rasanya kebuntuan kreatifitas di otak bisa digerus dengan kopi hitam. Aku menaiki tangga menuju lantai 2, sepertinya sudah ada orang di dalam ruangan.

"Permisi..." aku membuka pintu perlahan.

"Halow Jeeems!" sapa Zizah panjang, ia sedang makan bersama Monic.

"Haloo, udah banyak yang dateng?" modusku, padalah ingin menanyakan Euis sudah datang atau belum.

"Baru berdua nih, tadi Euis sama Heni ke kamar mandi. Tuh tasnya." tunjuk Monic. Di dalam hati aku salto kegirangan.

"Wah mantab, haha." aku melepaskan tasku yang berisi berbagai macam suling dan duduk bersila di lantai tak jauh dari mereka.

"Eh si Jems udah dateng, tumben sendirian. Kak Yoyo mana?" sapa Heni ketika masuk ke dalam ruangan, bodohnya aku malah tersenyum melihat Euis yang berdiri di belakangnya.

"Lagi ngerokok dulu dia. Hehe."

"Hai Jems!" Euis menyenggol bahuku dengan dengkulnya. Aku mulai mengenal Euis sebagai anak yang periang, senang berbicara, dan enerjik bagaikan baterai yang tak pernah turun dayanya. Always fully charged.

"Ngapain sih kamu tuh." aku menepuk betisnya, ia tersenyum, duduk di sampingku sambil memasukkan pakaian yang ia pegang ke dalam tasnya. Pakaian kuliahnya tadi. Membuatku tersadar aku belum pernah melihatnya dalam balutan pakaian kuliah. Karena sudah menjadi kewajiban untuk memakai kaos dan legging apabila sedang latihan menari.

"Tumben udah dateng." ia membuka percakapan, tersenyum sambil melihat ke arahku. Menatapku dengan sorot mata yang tak bisa kujelaskan dengan kumpulan abjad yang akhirnya membentuk kata-kata.

"Pengen ngulik euy, kemaren kan udah dicatet gerakannya. Biar lebih detail gitu. Haha" senyumku tak kalah lebar.

"Itu bawa apa?" ia menunjuk tas berbentuk kotal berwarna hitam di depanku.

"Oh ini, tas suling" aku mengambil dan membuka tas itu. Ia tampak sangat takjub melihat isinya, berbagai macam suling khas Indonesia. Mulai dari saluang, serunai, tarompet, suling sunda, suling bali, bangsing , toleat, suling banyuwangi, dan sebagainya. Semua itu menjadi teman-temanku dalam keseharianku. Tanpa mereka kuliahku tidak akan berjalan dengan lancar.

"Oh my God ini apaa?? Niupnya gimana?" ia mengambil sebuah saluang berlubang 4 dan mengamati keseluruhan saluang itu seolah yang dipegangnya adalah emas 24 karat. Saluang apabila tidak dilihat dengan teliti memang hanya seperti sepotong bambu yang kosong di bagian tengahnya. Tidak ada tanda-tanda benda ini bisa menghasilkan bunyi apabila dilihat oleh orang awam.

"Baru liat ya? Haha, ini namanya saluang, asalnya dari Minang. Mainnya gini." aku mengambil saluang itu dan meniupnya. Sekarang bukan hanya Euis saja yang terkagum-kagum. Heni, Zizah dan Monic mulai mendekat ke arahku dengan tatapan terkesima.

"Ya ampun bunyinya sendu bangeettt" kata Monic sambil memegangi dadanya.

"Kok bisa bunyi sih??" Zizah berusaha melihat ke bagian bawah saluangku.

"Niupnya gimana caranya??" Heni terlihat sangat penasaran. Kemudian aku sibuk menjelaskan kajian organologi dan bagaimana suara bisa dihasilkan. Tahu-tahu semua orang mulai berdatangan dan tampak sangat tertarik dengan 'workshop' abal-abalku, sesekali aku membiarkan mereka mencoba meniup saluang walau sebagian gagal. Mereka juga tak kunjung hentinya dalam memberikan pertanyaan padaku seputar suling-suling yang ada di nusantara.

"Buset, workshop suling Jal?" tanya kang Yoyo sambil membuka pintu dan masuk ke ruangan, yang hanya kubalas dengan seringai lebarku.


Tanggal publikasi: 18 Juli 2018
Tanggal penyuntingan: 28 Agustus 2018

Katanya mah JodohWhere stories live. Discover now