21. Naif

5.9K 555 10
                                    

"It called flirting, seducting, temptating, anything like that. The point is, she just flirting with you Jems!" omel Nonik dengan wajah lesu.

"Tapi gak mungkin dia gitu kalo dia gak suka sama gua!" bantahku, sedikit menggebrak buku filsafat seni yang kupegang.

"Ah Jems, maksud gua, cinta yang berdasarkan dengan nafsu gak akan berjalan lama!" Nonik tetap kukuh dengan pendiriannya. Bahkan sebelum masuk ke kelas filsafat seni aku sudah pemanasan, pemanasan debat. Kelas filsafat seni selalu dipenuhi dengan berbagai macam argumen.

"Bukannya flirting termasuk kode?" kataku sengit.

"Kalo sampe cium-cium dan semua yang lu ceritain, itu namanya menggoda! Lu yakin dia suka cewe? Lu yakin dia gak lagi deket sama orang lain? Laki-laki?"

"Peduli amat, pokoknya gua mau kejar dia!" aku mulai membutuhkan kopi hitam.

"Lu udah deket sama dia, bego! Tembak!" kata-kata Nonik berubah menjadi ribuan belati yang menghujam benakku. Aku terdiam.

"Gua lagi nunggu.."

"Nunggu apa? Alam bawah sadar lu tau kalo lu sebenernya cuma tergoda Jems. Bukan jatuh cinta!" ah sial, aku mulai menemukan rasionalitas dalam tiap kata yang diucapkan Nonik.

"Ah...tahu apa kita soal cinta..." aku melunak dan menghempaskan diri ke kursi. Sesama pencari cinta sedang berdebat soal cinta seolah mereka adalah orang yang paling mengerti cinta melebihi dewa cinta.

"Gua tau kok!!!" raut muka Nonik sedikit berubah. Aku tertawa kecil.

"Dari mane?" Nonik berdiri dengan cepat, aku kaget. Ia menatapku tajam.

"Gua baru putus, dan gua akan berterima kasih kalo lu gak nanya-nanya tentang hal itu ke gua dalam waktu dekat ini." kemudian ia meninggalkanku dengan perasaan yang campur aduk. Ikut sedih, kaget, bingung, tidak percaya, merasa bersalah, penasaran, dan lainnya.


***


Euis belum membalas chatku, dan sampai sekarang aku masih bingung harus mengetik apa kalau ingin memulai chat dengan Nonik. Sudah lewat hampir 1 bulan sejak aku tahu ia baru saja putus. Dan ia masih belum menceritakan hal itu padaku. Aku hanya bisa memberikan ruang jarak untuknya merenung dan menyelami diri.

Otakku memberondong berbagai macam pertanyaan akan Nonik. Sejak kapan ia punya pacar? Kenapa tidak pernah menceritakannya padaku? Kenapa menyembunyikannya dariku? Siapa pacarnya? Kenapa mereka putus? Kenapa tidak mau aku tahu cerita lengkapnya? Siapa saja yang tahu tentang hubungannya? Berdasarkan pertanyaan acak di atas saja aku sudah bisa menjadi pembawa acara berita gosip.

Kulihat lagi handphoneku, Euis mulai jarang membalas chatku sekarang. Katanya sedang sibuk. Aku yang sudah menganggur dan cukup lama tidak bertemu dengannya merasa rindu untuk bertemu.

1 bulan terakhir kuhabiskan dengan membantu tugas akhir seniorku. Tataran S2 memang lebih rumit dalam penciptaan karya. Itu lah mengapa aku cukup jarang memegang handphone. Tapi untuk mengabari orang tua dan membalas chat Euis pasti selalu kusempatkan.

Aku mulai rindu Euis yang selalu mengingatkanku untuk tidak terlalu banyak minum kopi hitam. Kasihan lambung dan ginjalku katanya. Dan sepertinya akan seru kalau tiba-tiba aku muncul di depan kampusnya. Kuambil jaketku, yah jaket yang lain karena jaket yang biasa kupakai masih dibawa Euis, helm dan kunci motor. Baru lewat beberapa meter dari kostan, aku melihat Nonik berjalan di trotoar membawa kardus.

"Non? Kemana?" aku menepikan motorku.

"Jems! Mau ke depan kan? Ikut dong!"

"Lu mau kemana? Gua ambil helm dulu deh."

"Gak usah! Gua mau buang ini." katanya langsung naik ke atas motorku. Aku menurut saja, di ujung jalan ada pembuangan sampah memang. Tiba-tiba aku bingung ingin bicara apa dengan Nonik.

"Eh..." tak sampai 2 menit kami sampai di pembuangan sampah. Nonik langsung turun dan melempar kardus itu dengan sepenuh penghayatan. Entah apa isinya. Aku tidak berani bertanya.

"Jems, saatnya jujur." ia berbalik menghadapku dengan sigap. Bagai tentara yang sedang baris berbaris. Aku membuka helmku. Bau tak sedap mulai diendus oleh hidungku.

"Okeh...." aku memberinya kode, mengajaknya naik ke motorku. Minimal kalau ia ingin blak-blakan, jangan dilatari oleh tempat pembuangan sampah lah. Tapi apa yang kulakukan sia-sia. Nonik sedang dikuasai emosi.

"Inget waktu gua bilang gua abis putus?" Nonik tidak mengindahkan ajakanku.

"Sangat ingat."

"Lu tau siapa yang putus sama gua?" aku menggeleng. Sekeras apapun usahaku mencari tahu tetap tidak ada petunjuk. Yang ada hanya asumsi-asumsi.

"Serius?" tanyanya lagi, aku kembali menggeleng. Nonik menghela nafas.

"Jems...mending kita pindah dulu yuk."

"Ya.....daritadi juga gua ngajaknya gitu kampret." Nonik naik ke atas motorku. Aku memajukan motor kira-kira 100m dari situ.

"Oke, disini enakan." aku diam. "Lu beneran gak tau?" walau sudah tak sabar aku menggeleng, lagi.

"Sumpah gua gak tau."

"Jems, lu naif banget deh." dahiku berkerut.

"Gua gak tau coy."

"Lu gak sadar gua pacaran sama Merdi?"

"HAH??!!" spontan aku berteriak. Asumsiku tentang mereka hanya sebatas teman. Astaga, aku memang terlalu naif. Sekarang semua menjadi jelas. Kenapa di rumah Nonik ada Merdi, kenapa Merdi ikut menjenguk saat aku sakit, kenapa mereka sering menghabiskan waktu bersama, dan.....ini menjelaskan Merdi dan mata sembabnya. Di tempat lain pada saat itu, Nonik pun lesu dan selalu terlihat sedih.

"So?"

"Gua emang naif."

"Terus lu mau kemana sekarang?" Nonik memiringkan kepala.

"Ke kampus Euis..daripada nungguin balesan mending gua samper langsung."

"Lu masih ngejar dia?"

"Iya." Nonik terdiam, menatapku tajam. Tak lama ia tersenyum.

"Lu emang naif Jems." aku melotot, tidak terima dikata naif tanpa alasan yang pasti. "Percaya sama gua Jems, hubungan lu sama dia gak bakal lama. Entar kalo udah pulang ke tempat gua ya. Gua pengen curhat." katanya sambil beranjak turun dari motorku lalu berlalu. Membiarkanku terus melotot sampai lelah.

"Ngomong-ngomong, kalo lu kepo, yang gua buang tadi itu barang-barang dari Merdi. Hati-hati di jalan ya." kata Nonik dari jauh. Sepertinya aku harus mulai menerima kalau aku ini naif.

Tapi tidak tentang Euis.

Aku yakin.



Tanggal publikasi:  30 Juli 2016
Tanggal penyuntingan: 29 Agustus 2018


Katanya mah JodohWhere stories live. Discover now