50. Belum Berakhir

5.6K 525 58
                                    

"Itu payung dari tanteku yang tinggal di Inggris, Jems." jelas Euis.

Bahkan aku tidak tahu kenapa ia harus menceritakan lagi tentang payung itu. Aku tidur tengkurap di kasur dengan wajah menghadap tembok. Antara ngantuk dan sengaja. Maksudku, Euis tidak seramai biasanya. Aku tahu ia sedang berpikir untuk mempersiapkan kata-katanya. Dan aku juga tidak tahu kenapa ia malah minta ikut ke kostanku.

"Jems..."

"Hmmm...?"

"Oleh-oleh buat kamu masih di rumah."

"Santai." aku tidak mengubah posisiku. Mataku terasa berat lagi. Parah, aku tidak ingin tertidur.

Lalu aku merasa rambutku dibelai lembut dan kurasakan Euis duduk di samping kepalaku. Tanpa perlu ditegaskan dengan kata-kata aku langsung mengangkat kepalaku, membiarkan Euis menggeser duduknya lalu meletakkan kepalaku di pangkuannya. Ah, perasaan yang paling menyenangkan di seluruh dunia. Tidur di pangkuan orang yang kau sayang.

Sumpah, aku rela memaafkan Euis tak peduli dosa apapun yang telah dibuatnya. Aku hanya tidak bisa marah padanya. Yah, mungkin belum ada alasan yang tepat saja. Pun kalau ada, aku tidak yakin bisa benar-benar marah padanya.

"Jems?" aku tidak menjawab.
Kunikmati saja perasaan senang sekaligus aneh ini. Euis menyuruhku berbalik badan tanpa berucap kata sepatah kata pun. Rambutku yang menutupi wajahku lalu disibakkannya perlahan. Aku memejamkan mata. Benar-benar sedang berusaha menikmati ini semua tanpa memikirkan hal lain.

"Jems, kamu kemaren ngapain aja di Jogja?" akhirnya Euis bersuara. Tapi pertanyaan yang dilontarkannya itu akan lebih tepat kalau aku duluan yang mengujarkannya.

"Bikin tower..." kataku asal. Karena sinyal di penginapan kemarin sangat jelek sehingga muncul candaan untuk membangun tower pemancar sinyal.

"Ya ampun, tower air? Kamu jadi kaya KKN dong???" aku membuka mata, tatapanku langsung bertemu dengan tatapan Euis. Dia percaya kalau aku membangun tower di Yogya? Astaga, Euis memang boleh cantik bak model. Tapi di dalamnya ia masih sangat polos.

"Oh bukan? Tower apa dong? Listrik??"

Aku langsung bangun dan memegang dahi Euis.

"Kamu gak beneran percaya kan aku bikin tower?" Euis menatapku dengan bingung "Is aku anak seni Is, jenis-jenis besi aja aku gak tau."

Euis terdiam sejenak. Masih menatapku dengan bingung. Tapi tak lama kemudian ia tertawa terbahak-bahak seolah baru sadar.

"Ahh ilaahh Jeeeemmmss!!!" Euis reflek memukul pundakku dengan gemas. Kemudian ia mengelus pundakku yang dipukulnya tadi lalu mencium pipiku pelan. Aku langsung terdiam, pasti wajahku memerah.

Tapi aku bingung ketika ia memasang wajah seolah baru saja melakukan kesalahan. Ia beringsut mengambil jarak dariku, sekaligus kelihatan ragunya. Sorot matanya menunjukkan kalau ia sedang memikirkan dan menimbang-nimbang sesuatu.

"Is...?" suaraku bergetar, aku merasa mendengar suara retakan. Oh, asalnya dari hatiku.

"Nggak Jems... Ini bukan salah kamu...." kepalaku langsung pusing bagai disambar petir "I mean, kamu baik Jems.. Baiiikkkk banget, tapi bukan kamu yang salah..."

Astaga.

Ada apa dengan pemilihan kata-katanya itu. Ada apa dengan pikiranku yang langsung kosong hanya karena ucapan Euis tadi. Bahkan aku tidak paham maknanya.

"Is... Aku gak tau apa yang salah dan aku gak mau nyalahin siapa-siapa."

"Jems... Ah... Gimana ngomongnya.... Kadang aku suka lupa kalo kamu perempuan..."

Katanya mah JodohWo Geschichten leben. Entdecke jetzt