Duapuluhsatu

4.3K 427 126
                                    

21. Putus?

~Tulus - Sewindu~

(Revisi)
~~~

Hari keduabelas

Senja panik saat mendapat kabar dari tante Sarah bahawa Caca kembali masuk rumah sakit. Dia langsung menuju rumah sakit tanpa menghiraukan keadaan jalan yang jelas-jelas ramai.

Sampai di sana dia disambut dengan Sarah yang berdiri di depan pintu ruang rawat Caca. Senja langsung menyalami Sarah dan duduk di dekat Sarah.

"Tante Caca gimana?" tanya Senja, terlihat gurat kecemasan di wajahnya.

"Dia nekat memukul tangannya, dia banyak kehilangan darah Senja," ucap Sarah dengan lirih.

"Trus sekarang gimana tante?" tanya Senja takut-takut.

"Stock darah golongan AB habis, dan ternyata golongan darah tante A," lirih Sarah.

Senja langsung diam, setetes air mata meluncur bebas dari matanya. Dia tidak bisa menghentikan air matanya, dia takut terjadi hal buruk pada Caca. Terserah jika ada yang mengatainya cengeng, terserah! Dia hanya sudah tidak kuat lagi menahan sakit hatinya saat ini. Apa yang menimpa Caca memukulnya telak, harusnya dia ada saat Caca ada di tingkat terandahnya. Sebelumnya Caca tidak pernah berbuat nekat, setau Senja Caca akan memilih diam saat banyak masalah menghampirinya.

Suara langkah kaki mendekat membuat Senja dan Sarah sama-sama menolehkan kepalanya. Di lorong rumah sakit, terlihat Aden, dan sahabat-sahabatnya. Dan satu lagi, cowok itu juga datang.

"Tante, Raisa gimana?" tanya Dipa panik. Keringat bermunculan di keningnya, sepertinya dia berlari dari lantai bawah rumah sakit.

"Dia-" ucapan Sarah terhenti saat dokter keluar dari ruang rawat.

"Maaf keluarga pasien?"

"Saya mamanya dokter," ucap Sarah cepat. Yang lainnya menunggu dengan hati cemas, terutama Senja.

"Pasien di dalam sangat membutuhkan donor darah saat ini. Ada yang bersedia mendonorkan darahnya? Kalian sudah tujuh belas tahun kan? Stock darahnya sedang habis, dan kami membutuhkan segera," ucap dokter laki-laki berjas putih yang terlihat masih muda.

"Ambil darah saya dok!" Semua serentak menolehkan kepalanya ke arah Dipa. Dipa mengangguk mantap, dia sendiri hanya memikirkan agar Caca cepat sembuh. Tak ada niatan selain itu.

---

Caca membuka matanya perlahan, wajahnya masih pucat. Tangan kanannya terbalut dengan perban tebal, sedangkan tangan kirinya diinfus. Dia mengedarkan pandangannya dan terhenti pada Dipa yang tertidur di sofa dekat ranjangnya. Senyumnya mengembang saat melihat Dipa ada bersamanya.

"Dip..." panggil Caca dengan suara serak. Dipa masih lelap dalam tidurnya. "Dipa!" kali ini Caca mengeraskan suaranya walau masih serak.

Dipa terbangun dan langsung memandang ke arah Caca. Dia tersenyum saat melihat Caca sudah sadar, dia langsung mendekati ranjang rumah sakit Caca. Menggenggam tangan dingin Caca dan tersenyum dengan rasa syukur karena pada akhirnya Caca selamat.

"Saya khawatir kamu kenapa-napa Sa," ucap Dipa lirih. Senyumnya meredup tangannya meremas lembut tangan kiri Caca.

"Gue bahagia Dip," lirih Caca. Matanya sudah berkaca-kaca dengan senyum manis menghiasi bibirnya.

"Saya senang kamu sudah sadar. Ya ampun saya lupa, kamu mau minum? Ada yang sakit? Perlu saya panggilkan dokter Sa?" tanya Dipa beruntun. Caca makin melebarkan senyumnya. Tak menyangka aksi nekatnya membuahkan hasil seperti ini. Akhirnya Dipa menjadi perhatian dengannya, dia bahagia.

30 DaysWhere stories live. Discover now