Chapter 1

204 11 0
                                    


Aku melepas sepatu ketsku dengan sebal. Meski ini baru pukul 1 siang dan bisa dibilang aku tidak melakukan kegiatan yang melelahkan sama sekali, badanku rasanya capek sekali. Pagi ini aku bangun dengan perasaan tidak nyaman, ternyata itu adalah firasat bahwa akan terjadi hal yang tidak menyenangkan hari ini.

Rasa-rasanya kesialanku pada hari ini enggak ada habisnya. Pagi-pagi aku secara tidak sengaja minum air mentah (aku lupa jika air di ketel belum kurebus), setelah itu saat aku menggoreng telur untuk sarapan, minyaknya menciprat ke tanganku. Saat aku mau berangkat ke The Palace, untuk brunch dengan teman SMA-ku Tiffany, kepalaku terantuk pintu (salahku sendiri sih, karena aku ngotot memakai sepatu sambil berdiri agar bisa cepat berangkat karena aku sudah telat). Daan yang jadi gongnya hari ini adalah ternyata Tiffany menipuku. Ia tidak mengajakku brunch untuk sekedar reunian, tapi ia menjebakku untuk kencan buta. Yak benar sekali, kencan buta. Duh, males banget enggak sih?

Saat aku datang, perasaanku sudah enggak enak karena aku lihat Tiffany tidak sendiri. Ia bersama dengan seorang cowok yang aku tahu pasti bukan tipe kesukaannya. Setelah ia memperkenalkan cowok itu kepadaku (namanya Eric, by the way) ia buru-buru kabur dengan alasan lupa sudah bikin janji di salon untuk facial. Yang benar saja!

Dari segi tampang sih sebenarnya Eric tidak jelek-jelek amat. Yang paling membuatku sebal adalah mulutnya. Tahu enggak sih, sepanjang brunch, aku sama sekali enggak punya kesempatan untuk ngomong apa-apa. Bukannya aku pengen ngomong atau apa sih, tapi kan nyebelin tuh. Udah gitu yang diomongin tuh semua tentang dirinya sendiri. Buset, kayaknya nih orang narsis abis deh.

Karena enggak tahan, aku makan cepat-cepat agar bisa segera kabur dari situ. Eeh, pas mau bayar Eric dengan enggak tahu dirinya minta dibayarin coba! Bukannya aku seksis dan berpendapat bahwa cowok harus bayar atau apa, tapi please deh, kita baru aja kenalan, dan cowok yang dengan cueknya minta dibayarin dengan alasan "kan kamu yang ngajak ketemuan" jelas-jelas bakalan masuk black list ku!! Dalam hati aku mengutuk Tiffany yang dengan resenya sok ikut campur dalam kehidupanku dengan mengaturkan kencan buta ini (udah gitu cowoknya rese lagi!).

Seolah bisa membaca pikiranku, tiba-tiba saja ponselku berdering. Kulihat caller ID nya, Tiffany. Sambil menghembuskan nafas kesal akhirnya kuterima panggilan telepon itu.

"Hmm," jawabku malas

"Hi Feli, gimana tadi kencannya?? Eric oke kan? Aku tahu kok kalian pasti cocok, ya kan? Kamu udah dapet nomor hpnya kan?" dengan semangat Tiffany membombardirku dengan pertanyaan.

"Fanny, tolong lain kali jangan pernah bikin kejutan kayak gini tanpa persetujuanku terlebih dulu OK? For the record, aku enggak pengen ikutan kencan-kencan buta lagi OK?"

"Laah, kenapaaaa??" jerit Tiffany dari ujung telepon dengan nada kecewa.

"Kan kamu pasti seneng kalau punya pacar yang bisa nganterin kemana-mana dan juga nemenin kamu," bujuknya lagi.

"OK, kayaknya aku perlu ngomong lagi ke kamu. Satu, aku bisa kemana-mana sendiri, enggak perlu dianter-anter, aku bukan anak kecil lagi. Dari SD juga aku uda kebiasa ngangkot ke sekolahan. Dan dua, aku enggak masalah enggak ada cowok yang nemenin aku kemana-mana, lihat aja, aku enggak kenapa-kenapa kan?"

"Tapi..."

"Udah ya Fan, aku capek, bye."

Untuk sesaat aku bisa merasakan sedikit kedamaian dalam heningnya apartemenku. Fiuuh..ini dia..akhirnya aku bisa sedikit bersantai setelah menjalani rangkaian kejadian sial hari ini. Baru saja aku hendak berbaring di sofa, tiba-tiba saja bel pintuku berbunyi. Dengan menggerundel, aku bangkit kembali dan membuka pintu, ternyata ada kurir ekspedisi yang mengantarkan paket untukku.

Love Will Find YouDonde viven las historias. Descúbrelo ahora