2

19.9K 1.7K 40
                                    

"Enak aja ngatain aku babu."

Bukannya merasa bersalah, Nada justru tertawa lepas saat melihat sahabatnya berkacak pinggang dan menunjukkan ekspresi sebal kepadanya. "Kamu kan emang lagi jadi babu, Nge. Bu ... Babu, abis ngepel, nguras sumur, ya," canda Nada pada Inge.

Inge mendengus dan berbalik badan meninggalkan Nada.

"Eh, Inge! Gitu aja ngambek." Nada bergegas menyusul Inge ke dalam rumah.

"Aku udah selesai ngepel. Mau pulang dulu, dah siang. Kesian ibu belum makan." Inge berkata sambil membenarkan rambutnya. "Tadi siapa, sih?" tanya Inge setelah Nada duduk bersamanya.

Nada mencibir karena pertanyaan dari Inge. "Rayhan Ilyasa. Dia anak konglomerat. Kamu kan nggak suka ama orang kaya. Ngapain nanya-nanya," selidik Nada.

"Nanya aja. Emang orang kaya songong semua, kok," tutur Inge. Ia kembali teringat bagaimana kekayaan dapat merenggut sosok ayah dari hidupnya.

"Nggak semuanya kali." Nada dengan kesal mendorong dahi Inge. "Contohnya Rayhan tadi. Dia ganteng, keren, baik lagi. Bengkel mobil bapaknya gede banget, ada cabang-cabangnya juga. Saudara-saudaranya udah punya usaha semua. Kebayang kan kalo aku nikah ama Rayhan bakal mewarisi kekayaan sebanyak apa."

Inge memang sempat mengintip ketika Nada berbicara dengan pria berwajah rupawan itu. Namun, tetap saja Inge tidak tertarik. Apalagi pada pria keturunan Tionghoa. Inge menghindari hubungan beda agama. "Hm ... ngimpi." Giliran Inge yang mencibir dan mengusap wajah Nada. "Panggilin mama kamu, sana. Aku mau pulang, tau."

Nada memukul puncak kepala Inge dengan lembaran uang dari Rayhan. "Awas ya, kalo sampe kamu naksir pangeran aku."

"Nggak akan," yakin Inge.

Belum sempat Nada berdiri, Sumi menghampiri mereka dari arah dapur. "Nada, Bu Jessica udah ke sini?"

Nada menyerahkan uang di tangannya. "Yang ke sini anaknya, Ma."

Sumi menjawab dengan kata 'oh' lalu menghitung uang tersebut. Setelah dirasa benar, dia memberikan beberapa lembar kepada Inge. "Nge, ini upah kamu selama tiga hari bantu-bantu di sini. Dipotong utang dua ratus ribu, sisanya jadi dua ratus ribu, ya. Itu juga utang kamu belum lunas."

Inge menerima uang itu. "Iya,Tante. Sisa utang bakal aku lunasin dua hari lagi, ya. Aku belum gajian. Makasih udah diajakin bantu-bantu di sini," ucap Inge.

Inge sendiri memiliki pekerjaan tetap sebagai pelayan di minimarket dekat rumahnya. Namun, karena catering milik Sumi sedang kebanjiran order dan butuh tenaga, Inge bersedia membantu. Upahnya lumayan bagi Inge.

"Besok, kamu nggak usah dateng dulu, deh. Belun ada pesenan banyak. Biar Tante urus sendiri aja," terang Sumi.

Hal itu cukup membuat Inge kecewa. Dia butuh banyak uang untuk biaya hidupnya. Sang ibu sakit-sakitan dan Inge harus mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk membeli beberapa obat. Inge rela kerja keras demi menghasilkan uang yang banyak hingga ia mengabaikan kesehatannya.

"Ya udah, nanti kalo butuh Inge kabarin aja, Tante." Inge berdiri hendak pamit.

"Oh iya, kamu bawa lauk sana, Nge. Buat ibu kamu," perintah Sumi.

Inge tersenyum tipis. Dia menyukai bekerja pada Bu Sumi karena dibalik kecerewetannya, wanita itu berhati baik. "Makasih, Tante." Inge segera pergi ke dalam dan mengambil tas plastik berisi makanan yang sudah disiapkan untuknya. Ketika ia kembali ke ruang depan, sudah tidak ada Bu Sumi dan Nada sudah memakai helm.

"Ayo, aku anterin. Enak kan jadi pembokat di sini. Dateng dijemput, pulang diantar. Jelangkung aja kalah," ujar Nada seraya melenggang pergi.

Inge mengambil helm lain lalu berjalan mengikuti Nada. "Akal-akalan kamu aja nganterin aku. Padahal habis ini mau pergi paling," balas Inge yang disambut gelak tawa Nada.

Meski Nada terkesan ceplas-ceplos, tetapi ia menyayangi sahabatnya. Inge sudah dikenalnya sejak mereka menempuh pendidikan di universitas yang sama. Nada lulus dan mendapatkan pekerjaan yang bagus, tetapi kuliah Inge berhenti karena harus bekerja untuk membiayai hidupnya. Walau demikian, mereka tetap bersahabat hingga saat ini.

"Nge, kamu kan udah pegang uang. Ntar malam jalan, yuk?" ajak Nada seraya mengendarai motornya.

"Nggak, ah. Duitnya buat lunasin utang tinggal dikit, nih. Mana aku belum bayar listrik lagi," tolak Inge.

"Halah ... ngeles mulu. Makanya, Nge, cari cowok yang tajir, terus kamu minta dinikahin. Kamu kan cantik. Cewek tuh nggak bisa hidup sendiri. Tetep butuh cowok sebagai pendamping."

"Nasihat itu terapkan ke diri kamu sendiri," sahut Inge.

Tawa Nada kembali lolos mendengar perkataan sahabatnya. "Aku kan lagi mengejar karir. Biar diangkat jadi supervisor di kantor. Taun depan deh, aku nyari cowok. Nah, kamu? Karir apaan? Tukang jaga warung doang," ejek Nada.

Inge dengan kesal memukul helm Nada membuat gadis itu tertawa lagi. Nada pikir cari cowok itu gampang? Dengan keadaan Inge seperti saat ini, susah baginya untuk mendapatkan perhatian dari lawan jenis. Sehari-harinya berkutat dengan pekerjaan di minimarket dan menyelesaikan pekerjaan rumah karena sang ibu tak mampu melakukannya. Belum lagi, ada ketakutan dalam benaknya mengenai suatu hubungan.

"Ada apaan, ya, Nge? Kok rumah kamu rame," ungkap Nada sambil melepas helmnya. Kini mereka sudah berada di depan rumah kontrakan Inge dan banyak orang di sana.

Inge segera turun dari motor dan berjalan cepat ke dalam rumah. Dia menaruh bawaannya dan melepas helm. Belum sempat ia bertanya, istri ketua RT memeluknya seraya menangis.

"Inge, yang tabah, ya," ucapnya seraya berlinang air mata.

"Ada apa ini?" Pertanyaan Inge belum terjawab, datang tetangga Inge lain yang segera memeluknya.

"Inge, ibu kamu meninggal dunia," tutur ketua RT yang menghampiri Inge.

Jantung Inge berdetak lebih kencang sesaat kemudian melambat. Gadis itu lemas dan jatuh berlutut hingga kedua wanita yang mengapitnya ikut berteriak. "Ibu," lirih Inge.

"Sabar, Nge. Sabar," bisik seorang wanita di samping kanannya.

Inge ingin bangkit dan berlari ke kamar mencari sosok ibunya. Namun, saat ini bernapaspun terasa sesak. Tubuhnya semakin melemah hingga ia jatuh di pelukan salah seorang wanita. Rasa pening tak terkira menyerang gadis itu.

Mata Inge menangkap sosok pria paruh baya yang menghampirinya. Ia memakai peci dan baju gamis yang membuat penampilannya berbeda denga para pria di kampung ini. Rasa benci menyeruak di benak Inge ketika Muhsin Sidiq akan meraih tubuhnya.

"IBU!" jerit Inge lalu meronta karena tak ingin disentuh oleh sang ayah kandung.

*Versi lengkap sudah tersedia dalam bentuk novel dan e-book di Google Play. Versi Wattpad hanya untuk spoiler. Jadi hanya cuplikan-cuplikan saja.*

Thank you!

13 Juli 2017

DustaWhere stories live. Discover now