Aku menerima ponsel tersebut dan mengetik deretan nomor telponku dengan tangan gemetar yang disertai keringat dingin. Ini gak baik! Kak Hujan sangat tidak baik untuk kesehatan jiwaku!

“Terima kasih, ya.” Kak Hujan menerima kembali ponselnya yang sudah menyimpan nomor telponku. Sesuatu yang hanya dimiliki segelintir orang, itupun bisa dihitung dengan jari. “Oh iya, aku hampir kelupaan sesuatu!” Kak Hujan tersenyum miring dengan mata mengerling mencurigakan. “Kamu lagi dekat dengan sama Sauzan, ya?”

“A-AP─” aku menutup mulutku saat aku hampir berteriak didepan Kak Hujan. Ah, ini sangat memalukan! Aku sudah tidak tahu bagaimana karuannya wajahku, dan juga rona merah menyebalkan yang menguasainya sekarang. “D-d-dia yang sok d-dekat dengan Lily, K-kak. L-lily gak dekat s-sama dia kok …. ”

Aku ingin sekali menangis saat ini juga saat Kak Hujan dengan puasnya tertawa. Tapi, rasa malu dan kesalku terbayar melihat tawa menggemaskan itu. Tawa lepas seperti anak kecil yang polos. Jika ada yang merekam tawa itu sekarang, aku rela membelinya meski harus menggunakan tabunganku untuk membeli manga bulan depan. Aku … sangat menyukainya.

“Tidak apa-apa kalau kalian dekat. Aku tidak keberatan menjadi kakak iparmu, Lily.” Kak Hujan mengusap air matanya yang mengambang dipelupuk karena keasikan tertawa.

“Hah?!” aku menatap horror Kak Hujan yang tertawa kecil sembari mengerling lucu. “Kak Hujan saudaranya orang itu? Si Sau─m-maksud Lily … K-k-k … Argh! Orang sepertinya gak cocok dianggap senior!”

“Siapa yang lo maksud itu, Lilyana?”

Suara itu, aura negatif yang datang dengan alami, dan rasa tidak suka yang kental ini sangat kukenal belakangan terakhir. Tanpa perlu mencari sumber suara itu dimana, aku sudah yakin jika suara menyebalkan itu adalah milik Sauzan.

“Kak Hujan, dengarkan Lily kali ini,” ucapku sebelum menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Aku bisa merasakan langkah kaki yang berjalan semakin mendekat. “Mungkin, orang itu bukanlah saudara kandung Kak Hujan. Bisa saja dia anak adopsi atau anak yang tertukar. Karna apa? Kalian itu sama sekali tidak mirip!”

Bertepatan saat aku berdiri, sebuah tangan mencengkram lenganku. Aku mendelik tajam dan kutemui sosok yang menjadi alasanku muak sekali berada disekolah ini selain Jasmine.

“Mau kemana lagi lo?” tanya Sauzan dengan songongnya. Bener-bener nih orang.

“Bukan urusanmu,” jawabku menarik kembali lenganku dari cengkramannya. “Daripada gak jelas, mendingan kamu berusaha menjadi lebih baik seperti kakakmu. Memangnya gak capek jadi bodoh kayak gitu terus?” Aku mendecih lalu berjalan meninggalkan dua saudara itu. Sauzan memang sangat mengerti merusak mood seseorang.

***

AUTHOR POV

“Lo ngasih tau dia kalo kita saudaraan?” tanya Sauzan bertepatan saat Lily berbelok dan menghilang di koridor. “Bukannya lo gak mau ada yang tau kita ini saudara selain beberapa orang tertentu?”

“Entahlah,” jawab Hujan membuat Sauzan mendelik tak puas. “Dia gadis yang manis, ya?”

“Jangan mengalihkan pembicaraan,” balas Sauzan sembari duduk disebelah sang Kakak. “Hm, iya sih manis. Tapi, sifatnya itu bikin dia jadi zonk.”

“Tadi dia bilang kalo kita berdua sama sekali gak mirip.” Hujan melirik Sauzan dengan seringai yang sangatlah licik. “Padahal, kita ini sangat mirip, ya? Kita sama-sama membuat dirinya jadi mainan.”

“Gue gak mempermainkannya,” ucap Sauzan menatap Hujan dengan curiga. “Gue harap lo tidak macam-macam di tahun terakhir lo ini.”

“Karena alasan tahun terakhir itulah gue harus ngukir kenangan tak terlupakan sebaik mungkin.” Hujan bangkit dari tempat duduknya. “Gue bakalan bikin tahun terakhir ini menjadi kenangan yang gak akan gue lupakan sampai kapanpun.”

PainHealerWhere stories live. Discover now