Bab 14

2.7K 174 1
                                    

"Vik, lu seriusan Vik?" Terdengar suara getir dari Ruby di sebrang sana. Setelah Vika mengirimkan foto selfiènya dengan Rama, Ruby mencoba meraih Vika melalui ponselnya. Hingga Vika menghubungi Ruby, tanpa babibu Ruby langsung menelpon Vika.

"Sekarang gini deh, By. Sampai detik ini si Arka nggak ngehubungin gue, By! Jangankan dateng kerumah untuk ngejelasin apa yang terjadi. Chat aja nggak, By!"

"Orang tua lu gimana, Vik? Orang tua Arka juga gimana?"

"Gue rasa Ibun juga udah cerita ke mamanya Arka soal gue yang memutuskan hubungan ini." Ruby menggigit bibir bawahnya. Ruby mengenal Arka. Arka bukanlah laki-laki bastard yang mudah tergoda dengan wanita. Dia sangat menjaga perasaan Vika. Kalau di mall suka ada cewek KFC alias menunjukkan paha dan dadanya, Arka selalu menjaga pandangannya. Walaupun masih suka tergoda saat Vika bilang liat aja kali naluri. Diakhiri dengan jitakan Vika. Dan Vika. Ruby amat sangat mengenal Vika. Vika bukanlah tipe perempuan yang asal mengambil keputusan. Dia selalu memikirkan reason, result, and conclution akan suatu masalah.

"Ini bukan main-main loh, Vik! Ini tunangan, bukan pacaran biasa."

"Justru itu, By! Mata gue kebuka lebar-lebar!" Bagaimanapun Arka juga laki-laki biasa. Ruby tahu mantannya Arka yang cantik badhay anak jurusan hukum yang dapat beasiswa di Amerika, tergabung dalam beberapa kegiatan volunteer disana, keluarganya juga dari orang yang sangat berada dan terpandang seperti keluarga Arka. Selain itu, mantannya Arka juga sangat digandeungi semua orang. Vika sudah kalah duluan. Jelas jika Arka Handriadhi lebih memilih Raisha Darmadhi.

"Gue juga, nggak ada apa-apanya dibandingkan Raisha, By..." Ruby tahu, saat ini pasti mata Vika sudah berkaca-kaca. Tapi bukan Vika namanya kalau tidak sok tegar. Kemarin soal Rama melihat dia menangis sih, karena dia datang setelah Vika menangis.

"Vik..."

Tiba-tiba, pintu kamar Vika di ketuk.

"Vika, kamu sudah pulang? Ibun boleh masuk?"

Ibunnya Vika masuk melihat anak bungsunya tengah menahan tangis.

"By, gue tutup dulu ya teleponnya."

"Vika... Ibun sudah bicara dengan mamanya Arka." Ibun mengelus kepala Vika.

"Nanti mamanya Arka mau datang."

"Arka bakal datang?" Ibun menggeleng. Vika ikut menggeleng menolak untuk bertemu.

"Nanti aku yang dateng kerumah Arka, Bun. Aku mau balikin cincin tunangannya."

"Vika..."

"Ibun, aku hari ini capek banget. Besok aku masih kerja, aku mau tidur." Vika langsung mengambil handuk dan membersihkan badannya untuk tidur.

************* ***************** **************** ***************

Rama tidak terkejut melihat Bisma sedang tiduran dikasurnya sambil memetik gitar. Bisma selalu begitu sejak SMP, curhat dengan Rama.

"Ada apa nih dateng kesini."

"Duh, bahagia banget bapak Rama Juniar Putra. Abis jalan-jalan ama ibu Ravika Rachmanina ya?" Mendengar namanya saja sudah membuat hati Rama berbunga-bunga.

"Dia calon bini orang, Ram inget."

"Udah putus."

"Ram, please! Inget, Vika itu udah tunangan! Ini cuman marriage blue aja sebelum mereka nikah! Lu jangan ngerebut calon orang, Ram!" Seketika, Rama meraih kerah Bisma.

"Maksud lu apa, Ma?! Jelas-jelas cowok itu nyakitin Vika! Ninggalin dia seenaknya, nggak ada kabar abis kegap selingkuh!"

"Kita nggak seharusnya mencampuri urusan mereka, Ram! Lu jangan jadi perebut calon orang!"

Satu pukulan tepat mengenai wajah Bisma. Ia menyentuh sudut bibirnya. Berdarah. Rama meraih kerah baju Bisma lagi.

"Gue nggak akan ngelepas Vika kali ini! Nggak akan! Denger Ma!"

"Jangan jadi bastard, Ram!" Satu pukulan mengenai wajah Bisma lagi.

"Gue minta lu pulang sekarang! Lu juga jangan ikut campur perasaan gue!"

Bisma bangkit dan langsung meraih kerah baju Rama. "Gue ingetin ya, Ram! Lupain perasaan cinta lo ke Vika! Dia milik orang! Jadi temen yang baik aja!" Dan Bisma pun meninggalkan rumah Rama.

Rama mengacak-acak rambutnya. Damn! Here comes the mess!

************** ************** *************** *****************

Iksan mengejar Rama yang berjalan begitu cepat. Tiba-tiba langkahnya terhenti karena Rama memandang seorang perempuan yang sedang menunggu di peron.

"Ram, lu yakin?" tanyanya.

"I no have times, I no have choices, San!"

Rama mengatur napasnya, berjalan santai menuju perempuan itu.

"Hai, Vik! Sendirian aja!" Rama mengeluarkan senyuman terbaiknya.

Terima kasih sudah membaca cerita pendek ini hingga chapter ini :) Jangan lupa vote dan juga commentnya agar ceritanya semakin baik

Luv luv

Saturday Afternoon CoffeeOnde as histórias ganham vida. Descobre agora