Bab 8

3.5K 234 0
                                    

"Rama, mau makan siang bareng?" Mei mengacungkan sebuah tas kecil.

"Semalem gue masak. Nyokap gue mau bikin arisan, jadi gue bikin beberapa masakan sama kue. Ada banyak, gue bawa 2 bekel."

Rama memandang Mei. Makan gratis? Siapa sih yang tidak mau?

"Ah, kebetulan, gue baru mau mesen ke Mang Diman. Soalnya kerjaan gue belum bisa ditinggal."

Mei menarik kursi kesebelah Rama.

"Untung kan gue bawa. Hehehe. Gue temenin deh lu makan disini."

"Gue jadi nggak enak sama lu Mei. Gapapa kok gue ditinggal."

"Dia biasa sendiri, Mei! Maklum, masih ngejar gadis yang sama ga bisa move on!" Iksan memasang wajah jahilnya sambil bersiap-siap untuk makan siang.

Rama memasang wajah kesal. Asal bicara banget si Iksan.

"Mau makan bareng gua aja gak, Mei?" Tanya Iksan.

"Nggak. Makasih. Gue disini juga gapapa." Ujar Mei sambil membuka kotak bekalnya untuk Rama.

"Duuuuh istriable banget sih Kak Mei..." Resdin yang juga bagian IT iri melihat Mei yang menyiapkan makan siang Rama hari itu.

"Kalau gue susah, pacar masih kuliah... Ahahaha"

"Lulus langsung nikahin lah, Din!"

Iksan menghampiri meja Rama, dan menaruh dagunya di meja.

"Kalau lu nikah sama Mei, enak bisa dimasakin tiap hari. Yang keluar mau bapak Ramanya atau Ibu Mei, nih?"

Rama menggetok kepala Iksan dengan map disampingnya. Mei hanya tersipu malu. Jauh dilubuk hatinya, ia ingin sekali apa yang diucapkan oleh Iksan menjadi kenyataan.

"Sana-sana pergi! Ganggu orang kerja aja!"

"Iyeee iyeeee ga ganggu orang pacaran kita! Yuk caw kita!" Iksan merangkul pundak Resdin berjalan layaknya dumb and dumber. Ruangan sepi, hanya tinggal Rama dan Mei.

"Eh, sorry, gue makan gapapa nih, ya?" Rama menyuap makanan yang ada di kotak bekal.

"Enak, Mei. Eh, BTW dua anak tadi gausah didengerin. Tukang guyon doang."

"Iya gapapa." Mei memandang Rama yang sedang mengitak-atik komputer di depannya.

"Ram..." Rama tak bergeming.

"Vika..." Kali ini Rama menghentikan pekerjaannya. Ditatapnya mata Mei. Mei bingung setengah mati. Ia tak ingin membicarakan tentang Vika. Ia tak ingin melihat wajah Rama yang tersipu malu saat nama Vika disebut dalam obrolan. Ia membenci saat Rama menyebut nama Vika dengan halus. Sebenarnya, ia ingin menanyakan apa maksud Rama menggenggam tangan Vika saat di Bandung. Ia merasa kesal dengan Rama yang selalu bahagia dengan Vika. Ia hanya ingin Rama tersenyum untuknya, dan menyebut namanya dengan lembut seperti ia menyebut nama Vika.

Kenapa Vika? tanyaMei dalam hati.

"Em.... Gue.... Gue.... Tiba-tiba kangen sama masakan Vika. Udah lama nggak makan kue buatan Vika..."

Rama menerawang. Vika senang sekali memasak. Ia ingat saat SMP sebelum Vika menyukainya, ia sering membawa bekal buatan pembantunya. Vika yang bosan dengan masakan yang itu-itu saja sering memberikan bekalnya kepada Rama.

Ia ingat juga saat ulangtahunnya yang ke-17, Vika membuatkan kue tart untuknya. Para Pasukan Bodrex datang berbondong-bondong membangunkan Rama saat Subuh, memberikan kejutan ulangtahun kepada Rama.

"Vik, enak kuenyaaaaaaaa! Lu yang bikin sendiri?" Tanya Bisma.

"Iya laaaah ahahah enak beneran emangnya?"

"Seriuuuus! Gak nyangka Herkules bisa masak!" Vika memukul lengan Bisma.

"Kaaaan kaaaaaan keluar Herkulesnya! Mana ada cewek mukul-mukul! Mentang-mentang anak karate" Semua tertawa-tawa melihat Vika dan Bisma. Vika dan Bisma sebenarnya memiliki watak yang sama. Kalau dilihat, mereka seperti anak kembar. Bahkan Bisma memanggil mamanya Vika dengan mama.

"Enak banget ya Rama punya pacar pinter masak!" Ujar Raka asal. Rama yang tadinya biasa saja menjadi kesal, dan beranjak kedapur.

Vika tahu, Rama kesal dengan ucapan Raka. Rama membenci saat orang-orang mengejek Vika adalah pacarnya atau menjodoh-jodohkan dia dengan Vika.

"Udah 17 tahun, nanti makan-makan yaaa. Harus special! Ini beneran temen SMPnya Rama semua?" Tanya Mamanya Rama.

"Iya tante..."

"Hebat, ya... Masih pada inget ulang tahun Rama! Mas, nanti makan-makan ya Sabtu di mana sama temen-temenmu ini. Ini ulang tahun special, dirayain dooong!"

Rama hanya menggumam. Rama juga malas jika ibunya mulai cerewet seperti sekarang.

"Eh ayo dimakan sarapannya!"

"Tante, aku mau pulang dulu tante..." Ujar Vika sambil mengulurkan tangannya untuk salim.

"Loh, ndak sarapan dulu? Pada libur, kan? Kelas 3 try out..."

"Iya tante, tapi aku ada acara ekskul dulu nanti..."

"Kalau gitu, dianter Mas, ya sampai depan pakai motor..."

Vika tidak menolaknya. Sebenarnya, Rama malas mengantar Vika. Namun, berhubung jalan menuju angkutan umum dari rumahnya lumayan jauh, kasian juga kalau Vika jalan sendirian. Hitung-hitung sebagai ucapan terima kasih karena sudah dibuatkan kue juga tidak masalah.

"Gue berat ya, Ram?" Rama pura-pura tidak mendengar Vika. Yaiyalah berat banget sebenarnya.

"Apa Vik?"

"Em.... Gajadi, Ram."

Sesampainya di gerbang perumahan Rama, ternyata sudah ada angkot yang ngetem. Di dalamnya ada beberapa orang yang kenal dengan Rama karena mereka memanggil nama Rama.

"Ini teh Rama, anaknya bapak Ahdi?" Rama hanya tersenyum sambil mengangguk. Setelah yakin Vika naik angkot, ia kembali pulang kerumahnya.

"Wah, Rama udah gede, ya, jadi kasep, sudah bujang." Ujar ibu-ibu tadi saat angkot mulai berjalan. Vika hanya tersenyum tersipu.

"Ya, gue juga, Mei..." Rama kembali bergelut dengan pekerjaannya, berharap jam pulang kantor segera datang.

Haaaaaai! Terima kasih sudah membaca :) Jangan lupa Vote and Comment agar cerita Rama makin greget lagiiiii ahahaha

Hatur Nuhun sadayana

Saturday Afternoon CoffeeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang