"Apa maksudmu?"

"Aku tidak bisa selalu berada di dekatmu sebagai kakak," katanya. "Aku sudah tahu sejak dulu kau lebih nyaman kan berada dekat Ian. Aku tak mau kau kesepian di sini."

Aku lihat wajah Ian. Hanya tersenyum acuh tak acuh tanpa berkata-kata seperti biasanya.

"Tapi, apa Ibu mengijinkanku?" tanyaku.

"Aku sudah bicara dengan Ibu tadi pagi. Dia mengijinkanmu. Lagi pula sekolahmu jauh. Di sini tidak ada yang akan mengantarmu."

"Bagaimana, Dane?" tanya Ian.

Aku hanya mengangguk

***

Sebuah koper besar telah penuh oleh pakaianku. Semua barang-barangku aku bawa dan kumasukkan pada ransel besar yang sedang aku gendong.

"Benar, Ibu tidak apa-apa?" tanyaku sedikit bimbang untuk meninggalkannya.

"Tidak apa-apa Dane. Pergilah. Ibu akan baik-baik saja di sini," katanya.

Dia hanya seorang ibu. Seorang ibu yang menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Yang ingin memperbolehkan segala hal yang diinginkan anaknya. Tapi, bisa kulihat raut wajahnya bertolakbelakang dengan apa yang telah diucapkannya.

"Ian, jaga dia sebaik mungkin. Kau tahu, ini adalah masa-masa terberat untuknya," bisik Ronny pada Ian yang sebenarnya bisa kudengar.

"Ayo, Dane," ajak Ian.

"Bu, aku berangkat," kataku memeluk tubuhnya sebelum akhirnya pergi.

"Sekarang, ini adalah kamarmu," kata Ian menunjukkan kamar di sebelah kamarnya saat kami tiba di rumah itu. "Setelah kau bereskan pakaianmu kita makan malam. Aku yang masak."

Malam itu berlalu seperti malam sebelumnya.

Dia mengusik mimpiku lagi ...

***

"Dane, sudah siap?" tanya Ian dari luar pintu kamar.

"Tunggu sebentar," kataku merapikan seragam.

Aku masukkan beberapa buku mata pelajaran hari ini.

"Aku sudah siap. Kita berangkat!"

Dia mengantarku ke sekolah yang jaraknya 1 kilometer dari rumah itu.

"Kalau kau lelah, nanti siang tidak usah jemput aku. Aku bisa pulang sendiri."

"Lihat saja nanti," balasnya.

Ketika aku hendak menyusuri lorong yang menuju ke ruang kelas, Nora memanggilku.

"Hei, Dane!"

"Hai Nora, Flo!"

"Kemarin kau sakit apa, Dane?" tanya Flo.

"Sudahlah, lupakan saja. Ada berita penting yang harus kau tahu, Dane," desak Nora memotong Flo.

"Berita penting?"

"Ikut aku," ajaknya menarik lenganku.

Dia membawaku ke mading sekolah di depan perpustakaan.

"Lihat ini," tunjuknya pada lembaran-lembaran gambar yang tertempel di majalah dinding.

"Apa ini?" tanyaku melihat gambar-gambar penampakan makhluk itu di sekolah yang tertangkap kamera. Dari semua gambar itu ada satu gambar yang membuat bulu kudukku berdiri tegak.

Dua bola mata biru menatap kosong ke arah kamera.

"Siapa yang memotret ini semua?" tanyaku.

"Kami tidak tahu. Tapi kudengar katanya gambar-gambar ini sudah terpasang di mading sejak liburan musim panas," jawab Nora.

Kie Light #1: Sandekala (TAMAT)Where stories live. Discover now