Bagian 1: Awan Mendung di Pagi Hari

71.7K 4.6K 221
                                    

Semenjak Mom meninggal lima tahun yang lalu karena strok. Aku selalu meyakinkan Dad untuk tidak memakan makanan yang berbahaya. Maksudku junk food. Dan sudah berapa kali pula aku mengatakan, makanan macam itu tidak lah sehat. Sayangnya Dad selalu mengelak dan mengatakan jika memakannya sekali-kali itu tidak apa. But, I know, Dad memakan makanan itu hampir setiap hari.

Sama seperti saat ini, saat Dad mengantarku ke kampus. Dia tengah memakan hamburger-nya sambil menyetir. Kebiasaan yang selalu Dad lakukan. Dan itu buruk, Dad adalah seorang manager di sebuah pabrik pengolahan kayu, perut buncit dan tanda obesitas bukanlah hal yang bagus.

Masalahnya, Dad tak mau mendengarkanku.

"Apa kau ingin Dad jemput?" tanyanya saat mobil hampir sampai. Aku menoleh ke arah Dad yang tengah meremas kantong kertas hamburger-nya.

"Tidak, aku akan pulang bersama Emma dan Seirra," jawabku seraya memperhatikan langit, cuaca sedang buruk. Langit berawan tebal keabuan dan sepertinya angin cukup kencang sampai-sampai dedaunan pohon besar di sisi jalan berterbangan. Aku yakin di luar pasti sangat dingin.

Dad menghentikan mobilnya tepat di depan kampusku. "Baiklah," katanya menyetujui. "sepertinya kau harus menggunakan mantelmu."

"Oke," gumamku lantas keluar dari mobil Dad. Rasa dingin langsung menusuk kulit dan angin-angin menyebalkan itu merusak tatanan rambutku. Segera aku berlari ke gedung kampus. Aku mendesah nyaman merasakan kehangatan di dalam sini. Setidaknya di dalam gedung ini lebih baik daripada mantel hitamku.

Aku merapikan rambut cokelat terangku seraya berjalan menuju kelasku yang pertama. Aku mirip Mom, rambut cokelat terang bergelombang adalah warisannya. Juga kulit putih pucat dan mata cokelat yang membosankan. Maksudku, mata cokelatku sangat berbeda dengan Mom, mata cokelat Mom cerah dan menarik. Aku suka melihat binar kebahagian di mata Mom, bahkan saat Mom sakit. Binar kebahagiaan tidak pernah hilang dari matanya. Tapi aku mengenal diriku, kebahagiaan berlebihan dalam tubuhku tidak terlalu aku butuhkan.

Aku telah sampai di depan kelasku. Di sana, di bagian tengah kelas, teman-temanku sedang berkelompok sambil bersenda gurau, aku tersenyum dan berjalan ke arah mereka.

"Hei, Vee, ke sini!" panggil Emma saat dia melihatku menghampirinya. Teman dekatku tidak terlalu banyak. Hanya tiga. Salah satunya; Emma, gadis pirang yang ceria. Satu hal yang aku suka dari Emma, dia orang yang antusias dan ramah. Aku orang yang tidak terlalu pintar bergaul, aku tidak bisa memanipulasi diriku menjadi gadis populer. Tapi berbeda dengan Emma, dia sebenarnya gadis yang menarik dan memiliki potensi untuk populer. Namun, dia lebih suka bersahabat dengan orang yang dia anggap tulus.

Aku duduk di dekat mereka. Kelas saat ini sudah ramai, dipenuhi mahasiswa-mahasiswa yang siap mendapat kuliah dari Mr. Hudson. Lima belas menit lagi kelas akan dimulai, aku bersyukur karena aku sudah duduk di ruangan berpenghangat ini. Di balik jendela hujan sudah turun dengan derasnya.

"Bam bam bam! Apa kau ingin Billy menghajar bokongmu, Steve?!" ucap Seirra mengalihkan perhatianku. Dia sedang berbicara dengan Steve--pria satu-satunya di kelompok ini. Aku tidak heran jika Seirra memarahi pria kurus macam Steve. Steve orang yang sangat jail. Mungkin saja Steve melempar lelucon yang menjengkelkan pada gadis berkulit hitam itu sebelum aku sampai di sini. Entah apa yang mereka debatkan.

"Hahaha, kenapa? Aku hanya memberimu saran jika kau ingin menaikkan nilaimu," ucap Steve seraya tergelak geli melihat reaksi kesal Seirra. Sekarang aku mengerti apa yang mereka bicarakan. Kadang Steve sering memberi saran tidak mutu dan membuang-buang waktu hanya untuk membuat orang marah. Sampai sekarang saja aku masih heran, apa yang disukai Steve melihat wajah kesal Seirra.

Seirra memutar bola matanya jegah. "Ya, dengan mengelus janggut Mr. Hudson," gerutunya sarkasme.

Aku, Emma dan Steve tertawa mendengar gerutuan menggelikannya itu. Entah bagaimana aku bisa membayangkan tangan berkutek Seirra mengelus janggut Mr. Hudson yang tebal. Tapi itu tidak bertahan lama, tawa kami terhenti saat mendengar suara pintu yang didorong. Segara para mahasiswa duduk di tempat yang merela pilih begitu pun denganku. Mr. Hudson berjalan memasuki kelas. Ada yang berbeda hari ini. Mr. Hudson datang bersama seorang pria tinggi, tampan dan berambut cokelat kehitaman yang menarik. Pria yang baru kali ini aku lihat. Mungkin dia mahasiswa baru yang ingin Mr. Hudson kenalkan pada kami.

I See You (Werewolf)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang