Laras masih setia duduk disebelah Kirana, begitu juga Siska yang juga sudah mengusap punggung Kirana pelan. Berharap Kirana dapat ikhlas menghadapi semuanya.

Kirana menatap kembali nama papanya. Pandangannya tidak pernah lepas dari tulisan tersebut. Berbagai kenangan dengan papanya terus berputar diotaknya. Terlalu banyak kenangan yang ia miliki. Dan hal tersebut membuat air matanya berjatuhan bercampur dengan air hujan yang sudah membasahi tubuhnya.

"Ki.. Udah.. Kalau lo gini terus, lo bisa sakit" ucap Siska akhirnya karena melihat wajah Kirana yang pucat.

"Ki.. Kita pulang ya" ucap Laras lembut. Kirana menggeleng pelan. Rasanya tak sanggup meninggalkan papanya sendirian disana.

"Papa sendirian Ras.. Gue mau nemenin papa disini" ucap Kirana akhirnya membuka suara. Siska yang mendengar hal tersebut memeluk Kirana dari samping. Membuat Kirana kembali terisak menangis.

"Udah Ki.. Kasihan papa lo disana.. Pasti dia ikut ngerasain sedih, kalau anaknya kayak gini" ucap Siska yang sudah menangis.

"Sekarang lo harus mulai semuanya dari awal Ki.. Tata semuanya dari sekarang.. Bikin mama dan papa lo bangga dengan lo.. Apa yang sudah diamanahin papa lo, harus lo lakuin Ki, karena gue tahu.. Om Khalid pasti sudah menginginkan hal tersebut" ucap Laras menguatkan Kirana. Kirana mengangguk lemah dan bersyukur didalam hati mempunyai sahabat-sahabat yang bisa menguatkan dirinya.

Pelukan Kirana melonggar, badannya luruh seketika. Laras dan Siska terkejut saat mengetahui Kirana pingsan.

**

Sudah tiga hari Kirana terbaring dirumah sakit. Dan setiap hari Laras, Iwan, Siska, Adam dan Mario menjaganya. Meskipun Mario dan Siska tidak bertegur sapa dan hanya mencuri pandang saat satu diantara mereka menoleh kearah yang lain.

Kirana belum juga sadar. Iwan memandangnya dari kursi disamping ranjang Kirana. Ia melihat wajah polos Kirana yang sedikit pucat karena sakitnya. Dokter mengatakan kalau Kirana hanya kelelahan, tapi hal itu membuat Iwan khawatir karena melihat Kirana tidak kunjung membuka matanya.

Keluarga besar Kirana hanya sekali-sekali menjenguk Kirana dirumah sakit karena harus menemani Mama Kirana yang setiap kali frustasi dan para pelayat yang datang. Mereka mepercayakan Kirana kepada sahabat-sahabatnya untuk menggantikan mereka menjaga Kirana.

Iwan terbelalak saat melihat kelopak mata Kirana bergerak. Perlahan namun pasti, Kirana membuka perlahan matanya dan merasakan pusing yang sangat. Setelah mengumpul kesadarannya, ia kembali membuka mata dan terkejut melihat wajah dan senyum hangat yang sangat ia butuhkan saat ini. Senyum laki-laki yang membuat jantungnya berdetak nakal disana. Meski ia tahu, ia tak mungkin memiliki laki-laki dihadapannya saat ini.

"Haus" ucap Kirana melihat ke arah Iwan yang masih memandang Kirana. Iwan dengan sigap membantu Kirana duduk ditempat tidurnya dan memberikan Kirana air mineral yang sudah diberi sedotan. Setelah meneguk perlahan dan dengan rasa gugup menerima suapan minuman dari Iwan, Kirana melepaskan sedotannya tanda ia sudah cukup untuk melepaskan dahaganya.

Kirana mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru kamar, berakhir ketika melihat tangannya sudah dipasang selang infus.

"Kamu dirumah sakit" ucap Iwan. Kirana hanya mengangguk. Dan ingin mengeluarkan pertanyaan lainnya dari mulutnya yang segera ia bungkam karena mendapatkan jawaban dari Iwan yang membuat dahinya mengernyit heran.

"Kamu pingsan, lalu dibawa kerumah sakit. Dan syukurnya, dua hari yang lalu libur panjang. Jadi kita bisa jaga kamu dirumah sakit" ucap Iwan. Kirana mengangguk lagi.

"Laras sama yang lainnya mana?" tanya Kirana.

"Lagi makan siang.. Kamu belum makan kan? Gue panggilin dokter dulu ya" ucap Iwan dan dianggukkan kembali oleh Kirana. Perasaannya menghangat saat ini. Debaran jantungnya berpacu dengan cepat saat Iwan membantu Kirana untuk tiduran kembali. Sangat dekat, sehingga Kirana bisa mencium aroma parfum dari Iwan yang sangat wangi, seperti harum mints yang membuat hati Kirana agak terasa lega.

CantikWhere stories live. Discover now