Bodohnya, wajah datar si pria pendek--coret--manis ini justru membuat darah Jeongkook semakin berdesir hangat, dan justru terlihat sangat imut di matanya. Membuat kedua tangannya tergerak begitu saja, mencubit kedua pipi gembil Jimin. "Aduh... kau benar seniorku? Kenapa imut sekali?" gemasnya, membuat Jimin segera berusaha menjauhkan tangan Jeongkook dari pipinya.

"Chim, aku pulang duluan." Tae Hyung segera melangkah pergi, meninggalkan Jimin yang terdiam seketika, dan Jeongkook yang masih asyik mencubiti pipinya. Tunggu! Jimin bahkan baru ingat di sampingnya tadi masih ada Tae Hyung. "Lepas!" Jimin tiba-tiba membentak dan menarik kasar tangan Jeongkook dari pipinya. Dan Jeongkook pun terdiam, memandang Jimin yang sepertinya tengah menahan emosi.

Pria berambut hitam kelam itu berdehem sesaat, lalu balas memandang Jeongkook. "Kau tahu bahwa Tae menyukaimu, bukan?" Jimin bertanya dan Jeongkook mengangguk. Kali ini ekspresi Jeongkook berubah menjadi datar. Sungguh, ia tidak suka jika Jimin mulai membahas masalah perasaan Tae Hyung padanya. "Maka dari itu, jangan berbuat seperti tadi jika Tae ada di sekitarku! Dan menurutku... akan lebih baik jika Tae saja yang kau tawari untuk pulang bersama," Jimin menunduk, menyelesaikan kalimatnya dengan nada yang terdengar lirih. Jemari tangannya sibuk memelintir ujung jas sekolahnya sendiri. Jimin sudah terlalu lelah dengan semua ini. Mungkin akan lebih baik, jika ia menyerah saja. Bukan begitu? Setidaknya ia bisa kehilangan satu orang yang mengejarnya, dan tetap bersama dengan Tae Hyung sebagai sahabat.

"Tidak!" Jeongkook menjawab cepat, lalu menarik dagu Jimin untuk dapat berpandangan langsung dengannya. "Yang aku sukai--tidak, cintai itu Jiminnie, bukan senior Tae Hyung. Dan kau pun tahu, bukan? Cinta tidak bisa dipaksakan. Maka dari itu, aku tidak bisa tiba-tiba berusaha berpaling pada senior Tae Hyung." Jimin terdiam dan Jeongkook tersenyum.

Jeongkook rasa, ia telah menang dalam hal menakhlukkan hati--

"Kalau begitu, hal yang sama juga berlaku padamu, tuan Jeon!"

--Jimin.

Kali ini, giliran Jeongkook yang terdiam dan Jimin tersenyum. "Yang aku sukai--tidak, cintai itu Tae Hyung, sahabatku, bukan dirimu. Dan kau pun tahu, bukan? Cinta tidak bisa dipaksakan. Maka dari itu, aku tidak bisa tiba-tiba berusaha berpaling padamu." Perkataan yang benar-benar sama, dan Jimin menyeringai kecil, sebelum pergi meninggalkan Jeongkook yang masih mematung di depan kelasnya.

Baiklah, Jeongkook merasa ia terkena senjata makan tuan.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Jimin pikir, setelah perkataan menyakitkan--menurutnya--yang ia ucapkan tadi, Jeongkook akan berhenti mengejarnya. Dan ternyata, hal itu salah besar. Terbukti dari adanya pria jangkung itu yang masih setia berjalan di samping Jimin, dengan tatapannya yang lekat terarah pada Jimin. Ugh, sungguh membuat Jimin terganggu! Masalahnya, Jimin bukanlah tipe orang yang senang sembarang menyakiti orang lain hanya karena ia sedang kesal.

Well, meskipun sebenarnya ia ingin sekali menendang bokong Jeongkook sejak tadi.

Baru saja Jeongkook ingin berucap, tiba-tiba saja sebuah motor sport hitam berhenti di samping mereka. Lebih tepatnya, trotoar yang menjadi tempat mereka berjalan saat ini. Ah, sebelum pria itu sempat melepas helm pun, Jimin sudah tahu siapa dia. "Tidak ingin pulang bersama dengan ku, Chimmie?" nah, senyuman semanis gula itulah yang benar-benar membuat Jimin hafal.

Jimin's Love CircleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang