"Laqueena, sebenarnya apa yang terjadi pada dirimu? Mengapa kamu terlihat sangat aneh?" Akhirnya Zurri tak mampu lagi mengendapkan pertanyaan itu lebih lama di dalam otaknya.

Queen menolehkan wajahnya dan menatap Zurri dengan pandangan yang sulit diartikan. Bukan lagi tatap kosong yang justru membuat Zurri ketakutan. Samar, Queen menyunggingkan senyum termanisnya. Ia mengangkat tangan dan menghirup aroma pinus sebanyak-banyaknya sambil menghadap ke arah jendela.

"Aku hanya berduka atas diriku sendiri, Zurri. Dan berada di tempat ini membuatku merasa lebih baik."

Zurri menghela napas lega. Saat senyum itu kembali menghiasi bibir merah Queen. Saat pipi Queen tak lagi kehilangan ronanya. Queen menyisir rambutnya sendiri yang tertiup angin dan menatap Zurri penuh arti.

"Berduka atas dirimu sendiri?" ulang Zurri karena kalimat itu cukup mengganggunya walaupun dikeluarkab bebarengan dengan rekah senyuman Queen.

"Bisakah perempuan menyedihkan seperti aku bahagia?" Tanya Queen hati-hati.

"Mengapa bertanya seperti itu? Kebahagiaan... tentu bisa dimiliki siapa pun, 'kan?" Tangan Zurri terangkat untuk ikut merapikan rambut Queen yang tertiup angin.

"Waktuku hanya sebentar. Dan aku ingin menghabiskan sisa waktuku hanya untuk bahagia... denganmu," lirih Queen yang mampu membuat tubuh Zurri menegang.

Kini Zurri kehilangan logikanya. Ia sudah terjerumus masuk ke dalam pesona Queen. Tatap hazel yang tak mau pergi dari benaknya. Senyum dan kepolosan gadis itu yang merekah indah dan tersimpan manis dalam memorinya.

Ia tidak pernah menganggap Queen sebagai Qui. Wajah mereka sama, tetapi saat berada dekat dengan salah satu dari mereka semua terasa berbeda. Bagi Zurri, Laqueena tetaplah Laqueena, gadis polos yang harus ia jaga sesui amanah sang ayahanda.

Tetapi kini, tak hanya sebuah amanah yang ia emban. Ia akan menyerahkan hidupnya sepenuhnya untuj Queen setelah mereja menikah. Mencoba untuk belajar mencintai Queen dan menghapus Qui dalam ingatannya. Mencoba menjadi suami terhebat bagi Queen dan anak-anak mereka kelak. Zurri merasa salah tingkah saat membayangkan hal itu. Terlebih kini, tatap tajam Queen seakan menelanjanginya.

"Kamu akan baik-baik saja, Queen. Aku akan menjagamu dan membahagiakanmu. Ingat, aku adalah calon suamimu," ujar Zurri sambil menunduk dan menempelkan hidungnya pada hidung Queen.

Kini jarak mereka begitu dekat. Tanpa ingin  membuka kata, hanya merasakan getaran hati masing-masing insan. Yang lebur dalam sinar bola mata. Dengan hati tertaut benang tak kasat mata. Perlahan Zurri mendekatkan wajahnya hingga tak ada lagi jarak di antara keduanya. Bibir hangat yang menyapu bibir dingin Queen.

Tangan Zurri erat memeluk Queen, menjadikan jarak semakin tipis. Mereka memejamkan mata. Hanya membiarkan naluri yang menuntun mereka untuk mencecap tiap rasa yang dihadirkan.

Zurri mengabaikan rasa nyeri yang mulai memijit perutnya. Ia mencoba melupakan segala sakit yang kini membelenggunya. Biarlah nyeri ini sebagai simbol penebusannya atas apa yang telah ia lakukan pada Qui. Nyeri itu semakin menjadi dalam luka basah yang masih meninggalkan bekas merah.

Ya, mereka kabur dari rumah sakit. Mematikan segala alat komunikasi. Dan besok, Zurri berniat membawa Queen pergi dari rumah ini untuk menyambut pernikahan mereka. Dan Zurri tahu, setelah menikah tentu akan banyak masalah yang muncul, terlebih Kenny. Karena hingga detik ini, kesibukan Kenny yang membuatnya jarang pulang seolah membuat lelaki paruh baya itu sedikit abai akan Queen. Dan sedikit kata dusta, mampu membuat Kenny percaya bahwa saat ini putri kecilnya berada di rumah dengan keadaan baik-baik saja.

Rasa nyeri itu masih menyergap Zurri, hingga satu tangannya menekan perutnya, merasakan rembesan sang merah yang membasahi ruas jemari. Tetapi untuk melepaskan diri dari Queen, Zurri tak mampu. Sebelah tangannya masih erat meneluk Queen. Membelai punggung gadis itu. Bibirnya masih haus akan rasa manis di bibir Queen.

Tetapi rasa sakit itu memaksanya untuk tumbang. Ia luruh di hadapan Queen. Dengan merah yang masih mengalir dari perutnya. Melihat itu membuat Queen panik. Ia ikut berjongkok dan membawa Zurri ke dalam pelukannya.

"Zurri!!! Lebih baik kita kembali ke rumah sakit!" Pekik Queen yang melihat wajah Zurri mulai memucat.

Zurri menggeleng pelan sambil  tersenyum tulus. Tangan merahnya terangkat untuk membelai pipi Queen. Membiarkan darah itu juga membekas di wajah gadis itu. Queen merasakan cairan hangat mulai menguar dari peraduannya. Ia membelai jemari Zurri yang ada di atas pipinya. Melupakan segala sumpah. Menyirnakan segala bnci hanya dalam hitungan detik.

"A-aku takut terjadi sesuatu padamu...," desah Queen yang kini menderaikan air mata.

Zurri kembali menggeleng. "Hanya nyeri kecil. Mungkin aku membutuhkan tidur. Setelah tidur, aku akan pulih. Aku berjanji padamu, Laqueena. Aku akan baik-baik saja."

Dan akhirnya, Queen menuntun Zurri untuk masuk ke dalam kamar dan berbaring di atas ranjang. Sementara dirinya diam membeku di sisi Zurri. Mengutuk dirinya akan rasa yang telah mengalahkan kebencian.

Jika begini saja ia kalah, bagaimana nanti? Queen menggigit bibir bawahnya. Membenarkan letak selimut Zurri. Mengelus pelan luka yang masih membekas merah. Setelah memastikan Zurri sudah terlelap. Ia akhirnya beranjak dari kamar.

Timpang ia berjalan menuju ruangan milik Leonard. Menyembunyikan dukanya dalam rengkuh ruangan itu. Merasakan hangat dekapan Leonard walau hanya semu. Karena dalam ruangan ini ia merasa bisa melebur bersama Alanis dan Leon. Menyampaikan segala rasa yang ingin ia keluarkan.

Queen jatuh bersimpuh di samping lukisan Alanis. Menutup kedua wajahnya dengan tangan, menyembunyikan deru isakannya.

"Daddy, mommy, apa yang harus aku lakukan? Bolehkah aku membunuh Zurri yang adalah ayah dari bayi yang sedang dikandung Qui? Tetapi aku telah bersumpah pada Qui untuk membunuhnya!" Ratap Queen dengan frustasi. "Bolehkan aku menyangkal nuraniku? Bolehkah aku membiarkan iblis menguasai diriku?!"

Queen semakin jatuh. Menunduk dan pada akhirnya tak lagi memiliki tenaga untuk bangkit. Ia berbaring di atas latar kayu, dengan butir kristal yang masih menetes perlahan.

Saat deru napasnya mulai normal, kedua tangannya mencoba menghapus bekas air mata. Hazel-nya semakin pekat, menyimbolkan hatinya yang juga diselimuti sang hitam.

Biarlah aku menyangkal nuraniku, wahai semesta. Kutuklah aku setelah ini. Setelah jemariku dipenuhi oleh darah dari seorang Seazurri Barnaby. Sebelum ragaku ikut lebur bersama keabadian. Semesta, terimalah dosa terbesarku...

TBC

Yipppiii updatee...

Bentar lagi mau lanjut next part kalau misal kelar hari ini bisa double update yah.. Wkwkwk...

Peluk Cium, LupitAra :*

LaQueenWhere stories live. Discover now