Ten

51.5K 2.3K 71
                                    

Author's View

Wanita itu menatap kosong pemandangan air mancur di hadapannya. Tatapannya menyiratkan kesedihan yang mendalam, tampak kedua mata serta hidungnya memerah sehabis menangis. Tepukan pelan di bahunya membuat wanita itu mengalihkan tatapannya sesaat.

Wanita itu kembali menatap pemandangan indah di hadapannya, tak memperdulikan sosok lelaki tampan yang berada di sebelahnya. Lelaki itu diam menunggu, ikut menatap hamparan bunga lily di hadapannya.

"Ada satu hal yang ingin kubicarakan padamu." Wanita itu -Anna- menarik nafasnya sesaat sebelum melanjutkan kembali ucapannya. "Ini tentang Kathrine."

David, lelaki itu menolehkan kepalanya menghadap Anna. "Ada apa?"

Anna menghembuskan nafasnya berat. "Dia kritis."

"Sudah berapa lama?"

"Satu minggu." Anna memejamkan matanya, mencoba menghalau air mata yang hendak turun akibat kesedihan yang dirasakannya. "Kanker-nya mulai bereaksi. Sebelumnya, kanker itu sudah mulai menunjukkan aksi-nya, tapi dia masih bisa menahan rasa sakitnya. Tapi kemarin, kanker itu mulai bereaksi lagi. Dan ini yang paling parah."

Lama mereka terdiam. Hening yang tercipta semakin menyiratkan rasa kesedihan yang mendalam. Hancur dan sedih mewakilkan perasaan yang mereka rasakan saat ini.

"Kanker-nya semakin parah, mulai merambat ke bagian otaknya. Tumor, semakin mengikis jiwa dan raga tubuhnya. Kita tidak tahu kapan dia akan sadar, saat ini hidupnya bergantung pada alat-alat medis yang tertancap di tubuhnya. Kita harus segera melakukan operasi caesar untuk mengangkat bayinya atau bayi itu akan ikut menghilang bersama dengan dia."

"Apa saran terbaik dari dokter untuk kondisi Kathrine saat ini?" tanya David yang sedari tadi terdiam.

Anna menggeleng pelan dengan matanya yang berkaca-kaca. "Kita harus lepasin Kathrine. Sebelum itu, kita harus melahirkan bayinya terlebih dahulu sebelum mencabut alat-alat medis yang menghambat proses pelemahan jantung Kathrine sebelum berhenti berdetak untuk selamanya." Anna menggigit pelan bibirnya untuk menahan isakan yang sebentar lagi akan keluar. "Kita harus ikutin saran dokter. Cepat atau lambat, Kathrine tetap akan pergi."

David menggeleng. "Apa kamu sudah siap untuk melepas Kathrine?"

"Tidak. Tentu saja aku belum siap, masih banyak hal yang belum kami lakukan bersama. Jika dia pergi, aku harus melakukannya bersama siapa?" Tetesan-tetesan air mata mulai berjatuhan di wajahnya yang putih pucat. "Tapi, aku ingin menjadi sahabat yang baik untuk Kathrine. Mungkin, Kathrine sudah terlalu lelah untuk menjalankan hidupnya sendirian di dunia yang kejam ini. Dan mungkin, membiarkan Kathrine pergi adalah langkah yang terbaik."

"Dia tidak sendirian." Kepala lelaki itu menggeleng keras. "Kathrine masih memiliki diriku, dia masih punya kamu sahabat terbaiknya. Masih banyak orang yanga menyayangi dia disini,"

"Tapi selama ini, Kathrine menjalani hidupnya sendiri. Tanpa kamu maupun aku! Kita memang menyayangi Kathrine, tapi Tuhan tentu lebih menyayangi dia."

"Tapi aku tidak siap."

"Kamu pikir aku siap? Tidak! Tidak ada satu orang pun yang siap ditinggalkan oleh orang yang mereka sayangi. Kita harus merelakannya untuk pergi, ini yang terbaik untuk dia. Seandainya dia tetap bertahan, apa kamu yakin dia akan bahagia?" sahut Anna. Air matanya telah membanjiri wajahnya.

David terdiam.

"Tidak 'kan, Dav? Kita sama sekali tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang. Setiap orang punya jalan masing-masing untuk menuju ke kebahagiaan merek. Dan kematian, mungkin salah satu cara untuk Kathrine menemukan kebahagiaannya."

The Baby's [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang