"Mampus gue! Ini sih bisa kelar subuh."

***

Vino dan Aldi tak peduli berada di mana mereka sekarang, misi utama mereka hanya satu yaitu, istirahat. Sesampainya di rumah Letta, kedua cowok itu langsung mengempaskan barang belanjaan di lantai dan terkapar di sofa kulit hitam ruang tamu. Pulas dengan posisi terduduk. Terlihat sangat lelah lahir-batin dunia-akhirat.

Bagi mereka, satu jam mengantre sama dengan workout dua puluh empat jam penuh tanpa istirahat. Capeknya bukan main. Antrean kasir tadi memang sangat gila dan mengesalkan. Aldi bahkan sempat mengamuk saat ada ibu-ibu gendut yang berusaha menyerobot antrean. Pelajaran yang dapat diambil: jika ingin hidup lebih lama, hindari ajakan ke midnight sale, clearance sale, atau hal apa pun yang berbau sale!!!!!

"Gue ngantuk, Let." Kezia menguap. Gadis itu memang tampak kelelahan, matanya menyipit seakan menahan kantuk.

Letta menepuk bahunya sekilas. "Lo naik ke kamar duluan aja, Kez."

"Nggak apa-apa mereka dibiarin di sini?" Mata Kezia turun, melirik kedua cowok yang sudah terlebih dahulu terkapar di atas sofa. Mukanya mupeng seketika menatap Vino yang sudah tak berdaya. Cowok itu jauh terlihat seksi jika sedang kelelahan seperti saat ini.

"Nggak apa-apa. Lo duluan ke kamar gih. Euhh, gue mau masih mau di sini sebentar."

"Oke."

Setelah Kezia naik ke kamarnya, Letta mematung. Matanya terpaku memandangi wajah Aldi yang tenteram dalam tidurnya. Letta membungkuk, membuat wajah mereka kini sejajar. Tangannya bergerak menyapu rambut Aldi ke belakang, perlahan dan lembut. Ia mendekatkan wajahnya, mengecup pipi Aldi sekilas, lalu beralih ke telinga. Letta berbisik lirih, "Selamat malam, tidur nyenyak dan mimpi indah, ya." Lalu sebuah ciuman kecil mendarat di dahi Aldi.

Cup!

Letta tersenyum puas saat janji yang dibuatnya berhasil ditepati.

"Let..."

Letta terhentak. Gadis itu buru-buru menjauhkan wajahnya dan berdiri. Melirik ke sebelah Aldi, ia mendapati Vino sudah dengan mata terbuka menatapnya penuh curiga. Cowok itu menaikkan sebelah alisnya seakan meminta kejelasan.

"Euh, gue... Tadi nggak ngapa-ngapain kok," ujar Letta panik.

Vino tersenyum kecut melihat semu di wajah Letta.

"Udah ya! Gue ke kamar duluan." Letta berbalik, namun sebelah tangannya tertarik. Vino sudah terlebih dahulu mencengkeramnya. Langkahnya terhenti. Letta mendadak gugup.

"Dengerin gue sebentar," lirih Vino. Suaranya pelan, namun tersirat paksaan tegas di dalamnya.

Letta menghela napas sebal dan berbalik. "Apa?"

Vino membuat cengkeraman itu menjadi sebuah genggaman, menarik Letta agar mendekat. Ia tak ingin macam-macam, hanya memotong jarak agar suaranya dapat terdengar jelas tanpa mengganggu Aldi yang tertidur lelap di sebelahnya.

"Gue sahabatan sama Aldi udah mau tiga tahun, belum pernah gue liat dia sesayang ini sama cewek. Setengah mati merjuangin lo sampe mempertaruhkan harga dirinya. Dia nggak nyerah walau sering lo tolak. Hebat ya dia?"

Letta mengangguk kikuk. "Apa maksudnya lo ngomong begitu?"

"To the point aja deh ya," katanya sebal. Ia mengempaskan tangan Letta. Mengubah posisi tubuhnya menjadi sedikit menyandar pada badan sofa, lalu sebelah kakinya ditumpukan pada kaki lain. Terlihat seperti Vino yang biasanya, santai.

Ia berdehem. Tatapannya tajam menatap Letta yang sedari tadi memperhatikannya dengan pandangan bingung.

Vino menunjuknya. "Kalau lo nantinya bakal nyakitin Aldi, mending dari sekarang lo angkat kaki dari hidupnya. Hidup Aldi udah cukup sulit, jangan lo tambah bebannya. Gue ngomong begini bukan mau ngancem lo, gue cuma prihatin sama keadaan dia sekarang. Gue takut apa yang dia perjuangin sia-sia, walau kata Andre nggak ada yang sia-sia. Dan satu lagi...." Vino mengibaskan tangannya. "Ambilin minum, gue aus."

I'm YoursWhere stories live. Discover now