Dinda mengangguk dan tersenyum ke arah orangtua Rara, gadis itu mencium tangan Shinta diikuti Dito setelahnya.

"Ya allah, udah besar ya kamu. Mama Papa apa kabar?"

"Alhamdulillah baik tante, Om sama Tante sendiri sehat-sehat aja kan?"

"Alhamdulillah, lama banget ngga main ya?"

Dinda tersenyum canggung, "Ngomong-ngomong Rara kemana ya, tante?"

"Yah.. sayang banget dia belum pulang." Shinta bangkit dari duduknya, "Bentar ya, tante buatin minum."

"Engga usah tante kita.."

"Bundaaa.." Shinta menoleh ke arah putrinya yang memasuki rumah dengan merengek. "Assalamualaikum," ucapnya sambil berhambur ke pelukan bundanya.

Shinta mengelus rambut Rara yang dikuncir mencoba menenangkan karena gadis itu menangis sesenggukan.

"Udah?" tanya Shinta begitu Rara mendongakkan kepalanya. Gadis itu kemudian menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya. "Bilang sama ibun sayang, kalo kamu gini ibun bisa apa coba?"

Gadis itu masih diam hingga dirinya sendiri lah yang melepas pelukannya sembari menatap sepatu hitamnya yang beralas warna putih itu.

"Ra, bunda mau ke belakang. Kamu bawain minum buat Dito sama Dinda." kata Shinta sebelum berlalu pergi.

Rara masih terpaku di tempatnya, apalagi begitu mendapati kedua sahabat kecilnya menatapnya dengan tatapan sendu. Tanpa pikir panjang, dirinya berhambur ke dalam pelukan sahabat perempuan yang menemaninya sejak sekolah dasar.

Tanpa diminta, air matanya meluruh seketika. Memori ketika sekolah dasar seolah berputar seperti kaset di otaknya, Rara menggelengkan kepalanya ketika sebuah bayangan terlintas begitu cepat di otaknya.

Bayangan dimana dirinya harus meninggalkan ini semua ketika baru saja bertemu, meminta maaf bahkan baru saja memulai lembaran baru untuk menjalani persahabatan seperti masa sekolah dasar dulu.

"Maaf," ucap Dinda pelan.

Satu kata yang membuat jantung Rara mencelos, gadis itu menggelengkan kepalanya di dalam pelukan Dinda. Dia menangis sejadi-jadinya, semua tangisan yang dipendam sejak tadi hingga dia melampiaskan kepada Dinda.

Dinda tau, ini bukan masalah kecil. Rara bukan gadis cengeng, dia gadis kuat. Menurut Dinda, sahabatnya itu menangis karena tertekan masudnya.. ada beberapa beban pikiran yang dipikulnya. Lagipula menangis itu manusiawi, menggambarkan perasaan emosional seseorang.

"Udah banjir, cukup Ra." Dinda menyahut geli.

"Dinda ngga salah. Masa-masa alay kita itu, udahlah santai aja." Rara mengusap air wajahnya seray bersandar pada punggung sofa.

Dinda tau Rara baik, sangat. Bukan karena apa-apa, gadis itu penolong, murah senyum namun sayang emosinya kurang stabil, sekalinya menyala kangsung meledak namun ketika tak ada yang membuatnya menyala dia lebih banyak bertingkah.

"Dinda, jaga diri baik-baik. Jangan makan aneh-aneh, pinternya nambah." Rara menasehati membuat Dinda tersenyum geli.

***

Ga Peka Dih ✔Where stories live. Discover now