A/N : Oke, berapa comment dan vote untuk chapter ini? Let's see..
~~~~
And there's a couple getting steamy in the car, parked in the drive
Was I too young to see this with my eyes?
And by the pool that night, apparently
The chemicals weren't mixed properly
You hit your head and then forgot your name
Then you woke up at the bottom by the drain
And now your altitude and memory's a shame
What about taking this empty cup and filling it up
With a little bit more of innocence, I haven't had enough
It's probably because when you're young
It's okay to be easily ignored
I'd like to believe it was all about Love for a Child..
~~~
Empat hari berlalu setelah malam itu, saat Ben mendengarkan suara indah Fian menyanyikan lagu kesukaannya. Perasaan itu muncul begitu saja bagai bunga yang akhirnya mekar pada musim semi, namun kuncupnya belum juga tampak. Ben merasakannya, tapi dia enggan mengakuinya. Rasanya sungguh membuat dadanya bergemuruh hebat dan tubuhnya menjadi panas dingin di setiap detiknya saat Fian menyebutkan kata per kata lagu tersebut.
Dan selama empat hari ini pula,Ben berdebat dengan dirinya sendiri. Dia itu straight. Selurus paku, selurus baja yang selalu di gunakan untuk mendirikan plafon bangunan. Sekokoh itulah pendiriannya kalau dia adalah pecinta wanita sejati.
Namun, Fian bukan wanita. Lihatlah Ben! Dia itu cowok tulen! Tak pernah sedikitpun dia bertingkah seperti wanita ataupun berpakaian seperti wanita. Mungkin dia pernah manja padamu siang itu tapi, hey! Itu wajar bukan? Lagian sepertinya Fian bukan tipikal cowok yang cocok untuk menjadi garang. Wajahnya terlalu manis untuk bisa kau—
Berat rasanya bagi Ben berdebat dengan dirinya sendiri selama beberapa hari ini. Setiap pagi saat ia bertemu dengan Fian, jantungnya akan langsung berdetak lebih cepat. Namun egonya lebih kuat untuk menyuruh bule tersebut menolak. Kau menyukai wanita, Ben. Ingat itu. Kau menyukai wanita. Kalimat tersebut terus ia ulang-ulang di dalam benaknya setiap kali Fian memeluknya dalam perjalanan pulang ataupun berangkat ke sekolah.
Gosh, semua perasaan aneh ini membuat Ben menjadi gila dan.. agak sedikit sakit jiwa.
Bagaimana tidak? Setiap saat acara makan keluarga, saat Bude mengocehkan sesuatu Ben akan diam dan melamun—mencoba untuk tidak terlalu noticeable dalam acara tersebut. Karena semakin dia mendengarkan maka Bude akan semakin menggodanya. Dan jika Bude semakin menggodanya, maka Pakde dan juga Fian akan terkikik sendiri di tempat. Dan melihat Fian tertawa seakan kembali membangkitkan perasaan itu didalam hati Ben yang sudah mati-matian ia kubur didalam relung hatinya. Ujung-ujungnya? Ben akan menggeleng-gelengkan kepala seperti orang gila dan langsung berdiri kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Dan omong-omong soal kamar, selama empat hari ini pula Ben seperti enggan jauh-jauh dari kamarnya tersebut. Dia ingin mengoreksi dirinya dan menghukum hatinya yang bodoh ini. Gay? Bahkan dia sama sekali tidak terpikir kalau akan menjadi pecinta sesama jenis.
Maksudku—yah—diluar sana kan hal-hal seperti ini memang lagi happening dan orang-orang disana juga biasa saja menanggapi masalah seperti ini. Tidak tidak, Ben tidak pernah menganggap penyimpangan orientasi seksual sebagai sebuah masalah. Malah menurutnya itu adalah sebuah perbedaan yang harus di hormati—itu hak semua orang kan untuk menjadi siapapun yang mereka mau? Bahkan Ben disekolahnya ada banyak pasangan gay yang tidak ia kenal, dan bule yang mirip Chris Pratt tersebut juga bersikap biasa saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Life
RomanceFian adalah remaja 16 tahun yang mencoba untuk melepaskan semua kenangan buruk yang menyebabkan ia mendapatkan penyakit jantung. Semua kenangan itu selalu mengejar-ngejarnya. Ia hanya ingin hidup dengan tenang bersama keluarganya. Melupakan apa yang...