Chapter 2 : Sheila On 7 - Dan...

10K 639 15
                                    

"Kamu berkeringat." Ujar Fian tak kuasa menahan gelaknya melihat Ben yang sedang menggerutu di depannya. Bajunya sudah ia ganti dengan yang lebih besar dan pas untuk badannya. Tapi dia malah tampak lucu dengan setelan itu.

Fian yang menemaninya ke ruang busana sekolah tadi untuk meminta baju ganti. Sepanjang jalan menuju tempat itu, Ben tak henti-hentinya meracau tak jelas perihal Pak Dodi yang begitu galak dan memarahinya karena bertanya hal hal yang menurut bule itu penting. Ben sebenarnya tidak salah, yang salah itu dia menanyakannya di waktu yang tidak pas.

Ben masih membiasakan mulutnya dengan makanan yang ada didepannya : benda bulat kenyal dengan kuah yang tampak berminyak. "Apa ini?" Tanyanya sembari menunjuk makanan tersebut.

"Namanya bakso." Ujar Fian sembari merogoh sakunya. "Semacam daging yang di bentuk seperti bola, setelah itu disiram kuah panas yang diberi bumbu terlebih dahulu. Di Inggris ada kan?"

"Ada, tapi kami biasanya menyajikannya bersama spagetti."

Ben tak mempedulikan orang-orang yang kini sedang memandangnya asing. Seorang bule sedang duduk di tengah-tengah orang-orang pribumi di siang bolong saat jam makan siang, itu pemandangan yang tidak biasa bukan? Alhasil semua orang saling berbisik dengan teman temannya di meja sambil melirik Ben yang sekarang sudah sangat kelaparan. Namun Ben cuek dan mulai mengambil sendok serta garpu.

"Tunggu." Ucap Fian dan menyodorkan sebungkus tissue kering pada Ben. "Bersihkan dulu keringatmu sebelum makan."

Ben mengangguk dan kemudian meraih tissue tersebut. Setelah itu Ben membersihkan keringat yang meluncur bebas mengikuti fitur wajahnya. Indonesia sangat berbeda dengan negara aslinya. Lebih panas, tapi juga lebih ramah. Fian contohnya, Mr. dan Mrs. Hayyan juga orang yang baik. Tapi Pak Dodi dan buk Tati tidak.

Hiiy! Membayangkan kumis Pak Dodi saja membuat kedua bahu Ben bergidik geli.

"Kenapa?" Fian ternyata menyadari gidikan di bahu Ben tersebut. "Kamu barusan menggidikkan bahumu. Ada apa?"

Bule bertubuh jangkung tersebut meremas tissuenya, meletakkannya di samping mangkuk basonya dan lalu menggeleng. "Ah, tidak ada apa-apa. Aku cuma masih terbayang-bayang dengan rupa kumis Pak Dodi."

Ada yang berbeda dari cara Ben mengucapkan 'Pak Dodi'. Sama seperti kebanyakan bule pada umumnya, lidahnya masih patah-patah menyebutkan kosa kata yang tertera dalam KBBI. Dan bagi Fian, itu lucu. Ditambah lagi kini cowok tersebut juga ikut-ikutan membayangkan kumis Pak Dodi yang epik itu.

Yah, sedikit.

"Ada yang salah denganku?" Ben cengo sendiri melihat Fian yang tiba-tiba saja tersenyum tipis didepannya, membuat cowok pribumi tersebut langsung menetralkan otot-otot wajahnya dan memasang tampang datar. "Kamu barusan menertawakan apa?"

"Ah, tidak ada kok." Balasnya dan mengambil sendok serta garpu di sebelahnya. "Ayo cepat makan. Kamu sudah bolos empat jam pelajaran sekaligus. Kamu tidak boleh terlambat untuk selanjutnya."

"Oke. Baiklah." Setujunya setelah menelan terlebih dahulu baso yang ada di dalam mulutnya. Bule itu sepertinya mulai suka dengan makanan khas Indonesia yang satu ini. Buktinya belum ada 5 menit Fian menyuruhnya makan, basonya sudah tersisa sedikit di dalam mangkok.

Dan melihat itu, Fian hanya mampu bergeleng kepala.

~~~

Fian dan Ben tidak mendapatkan kelas yang sama. Itu semua kebijakan dari kepala sekolah ataupun kantor tata usaha untuk meletakkan siswa asing di kelas mana. Terlebih lagi karena di luar tidak ada penjurusan seperti di negeri ini, maka sedikit lebih sulit bagi Ben untuk mendapatkan kelas. Fian itu siswa jurusan Bahasa. Sedangkan Ben mendapatkan kelas di dalam jurusan Sosial. Sial bagi Ben karena dia sama sekali tidak kenal orang lain di sekolah ini selain Fian. Lebih sialnya lagi, Pak Dodi yang terkenal galak dan killer itulah wali kelas dari kelasnya Ben.

Good LifeWhere stories live. Discover now