Chapter 5 : Rihanna - Love On The Brain

6.9K 450 36
                                    

Farel menghela nafas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang sekarang membludak di dalam dirinya. Pikirkan saja, kenapa dia tidak emosi coba? Kemarin waktu di datangi, mantannya itu bilang kalau 'gay itu sakit'. Cowok yang bekerja di tempat roti ini awalnya pikir Fian benar-benar kesal dengan dirinya sendiri dan mencoba untuk menutup diri dari dunia abu-abu seperti ini—semenjak kejadian dua tahun yang lalu—di malam mereka berpisah. Tapi apa yang dia lihat barusan benar-benar tidak mencerminkan kalau gay itu sakit.

Maksudku, Fian senang-senang saja di rangkul oleh bule seperti seorang Ben?

Apanya yang sakit kalau begitu?

Farel lantas memejamkan matanya sebentar, lalu berpura-pura tersenyum ramah. "Kabarku? Aku baik-baik saja." Adalah responnya beberapa saat kemudian. Ben mengangguk, tanpa bule itu sadari mata Farel tak bisa lepas dari sosok Fian yang sedang berdiri gelisah di sampingnya.

Farel berdehem. "Kalau kamu sendiri, Fian? Bagaimana kabarmu?"

Fian yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya gelisah tiba-tiba tercekat. Ia mendadak tidak bisa menemukan suaranya. Kenapa harus ketemu sama orang ini, sih? Batin Fian dengan bodohnya. Tentu saja dia harus ketemu sama orang ini. Lah ini kan restoran punya Farel.

Ya. Farel pernah mengundangnya ke acara peresmian toko roti sekaligus restoran miliknya ini beberapa bulan yang lalu. Tapi Fian tidak datang.. karena alasan privasi.

Ben tidak menghiraukan mereka berdua dan lebih memilih untuk berkutat pada daftar minuman yang di sediakan oleh tempat ini. Menunya di tulis di atas papan hitam yang ia tempel di langit-langit belakang tempat kasir. Persis seperti caffe ala Paris yang selalu ia kunjungi setelah mengajak Josh jalan-jalan setiap hari Sabtu. Biasanya dia akan memesan kopi untuk menyegarkan pikirannya setelah seminggu penuh berkutat dengan tes dan juga tugas-tugas lainnya. Ben bisa menghabiskan waktu berjam-jam di dalam tempat itu hanya untuk menikmati secangkir kopi.

Tapi, sekarang bukan di London. Ini Indonesia, bro.

Lagian di tempat ini sepertinya tidak terlalu suka dengan kopi. Buktinya saja di tempat ini, terlalu banyak Susu yang mereka tawarkan. Mulai dari Susu Coklat, Susu Coklat Panas, Susu Murni dan banyak yang lainnya. Ben sedikit tidak puas saat tidak menemukan nama kopi yang selalu ia pesan dulu. Dia hanya menemukan beberapa minuman berkafein yang acap kali ia temui dulu, tetapi sangat jarang ia pesan.

Bule itu berpikir panjang. Aku selalu terbiasa minum kopi setelah makan dessert seperti ini, Ben bergumam sendiri di dalam pikirannya. Kenapa sih mereka tidak menyediakan Black Coffee?

"Aku mau pesan.." Ben bersuara, masih menatap daftar menu yang di tempeli di langit langit tanpa repot-repot menoleh pada Farel yang masih mencoba menelanjangi Fian dengan tatapannya. "White Frape."

"Baiklah.." ujar Farel seraya melepaskan tatapan matanya dari Fian dan menuliskan pesanan Ben. "Lalu?"

Bule itu menoleh pada Fian sekarang. "Kamu mau minum apa, Fian?"

Cowok manis itu mendongakkan kepalanya, mata besarnya lagi-lagi bertemu dengan Ben—membuat bule seksi itu kembali berdebar-debar jantungnya. Tapi berbeda dengan yang tadi, kali ini sorot mata Fian justru penuh akan kebimbangan dan juga kesedihan. Hanya saja, Ben terlalu buta untuk membaca semua itu. Mungkin untuk saat ini.

Fian menghela nafas. "Aku samakan saja denganmu, Ben."

Dengan cepat Ben menggelengkan kepalanya. "No. Kamu dari tadi memilih dan mengambil berbagai macam roti sesukamu. Bagaimana mungkin kamu sekarang mau minum yang sama denganku?"

Good LifeWhere stories live. Discover now