8

1.7K 67 31
                                    

Senyum laki-laki itu pudar, di gantikan raut kecewa atas sambutan dari penghuni rumah yang di datanginya. Tetapi, ia mencoba menarik ujung bibirnya agar terlihat lebih tegar. Ia ingin mengeluarkan suaranya, namun sepertinya ia kehilangan kemampuan itu.

Mendadak ia merasa kehilangan pita suaranya, ia hanya membuka sedikit mulutnya lalu mengatupkannya lagi.
Sedangkan perempuan yang berada di depan laki-laki itu tampak diam saja, air mukanya datar sama sekali tidak bergeming dari tempatnya.

“Mau apa anda kemari?” Neta kembali mengulang pertanyaannya kepada laki-laki di depannya dan mendapatkan senyum lemah dari laki-laki itu.

“Aku merindukanmu, sayang.” Neta menatapnya dengan datar tanpa menjawab kata-kata laki-laki itu.

“Biarkan aku masuk. Kita bicarakan ini dengan kepala dingin, sayang.” Laki-laki itu menambahkan kalimatnya setelah terdiam cukup lama. Neta membuang pandangannya agar tidak bertemu dengan mata laki-laki itu.

“Jangan memanggilku dengan sebutan itu, aku sudah menganggapmu mati.” Laki-laki itu sedikit tersentak akibat kata-kata tajam dari gadis di hadapannya. Namun ia hanya memakluminya saja.

“Baiklah. Tapi biarkan aku menjelaskan semuanya, dan dengarkan penjelaskanku dengan kepala dingin.” Tanpa menjawab perkataan laki-laki itu, Neta berjalan memasuki rumahnya tanpa di ikuti oleh laki-laki itu. Neta yang merasakan itupun berbalik menghadap laki-laki yang masih tidak bergerak dari tempatnya.

“Izinkan aku menginap malam ini di sini.” Laki-laki itu sedikit berteriak dari depan rumah Neta karena gadis itu sudah lebih dulu memasuki rumahnya. Neta nampak berfikir kemudian memutuskan untuk mengangguk.

“Aku izinkan malam ini saja.” Kemudian ia kembali berjalan memasuki rumahnya. Perkataan itu membuat laki-laki itu bernafas lega. Kemudian ia menyeret kopernya untuk masuk ke dalam rumah megah itu dan menutup pintu utama rumah itu.

***

Langkah kaki orang itu tergesa-gesa, hingga ia terlihat setengah berlari. Begitu ia sampai di dalam rumah itu, hanya gelap yang ia dapatkan. Tangannya terkepal dan nafasnya memburu, matanya menatap sekeliling dan mulai memasuki ruangan demi ruangan dalam rumah tersebut. Hingga ia bertenti saat terdengar pintu utama tertutup kencang dan mendengar suara tepuk tangan yang sangat menggema keseluruh ruangan yang di tempatinya sekarang. Ia memutar badannya sambil meneliti keadaan di sekitarnya.

“Lepaskan dia.” Orang itu tetap waspada pada kegelapan di sekitarnya, karena bisa saja pengguni rumah ini menyerangnya.

“Apa yang kau berikan untukku jika aku melepaskannya?” Suara itu seperti berasal dari pengeras suara yang di pasang pada ujung-ujung ruangan itu. Tidak terlalu jelas, apakah itu laki-laki ataupun perempuan.

“Aku yang akan menggantikannya.” Setelah itu, ia merasa punggungnya di tusuk benda tajam seperti sebuah pedang. Ia memekik kesakitan dan setiap jeritannya membuat pedang itu semakin di tusukan pada punggungnya. Pada akhirnya ia merasa kegelapan mulai menggerogotinya dan kesadaran dalam dirinya mulai hilang, hingga ia benar-benar sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi.

Seseorang yang memegang sebuah pedang itu tersenyum miring, ia mencabut pedang itu dari punggung orang di depannya. Lantas ia mengusapkan bekas darah dari pedang itu pada sebuah saputangan yang ia bawa. Ia terkekeh kecil sebelum kembali memasukan pedang itu pada tempatnya. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju sebuah ruangan di dalam rumah itu untuk meletakkan pedang itu di atas perapian rumahnya.

Ia kembali ke tempat korbannya tadi dan memandang datar tubuh orang yang ada di depannya. Hembusan nada lelah terdengar dari mulutnya yang kemudian berubah menjadi dengusan serta seringaian kecil saat ia berhasil menyeret tubuh korbannya itu ke tempat yang seharusnya, tempat di mana ia mengoleksi orang-orang sok berani seperti manusia ini.

Setelah ia mengikat orang itu dengan menggunakan kawat berduri, ia tersenyum kecil melihat hasil yang ia kerjakan. Ia memandang kegelapan di sekitarnya dan tersenyum mendengar suara-suara bersisik di sekitarnya. Lalu ia berjongkok mensejajarkan dirinya dengan korban barunya, dan menuangkan alkohol kepunggung orang tersebut. Lalu ia berbisik sangat lirih pada korbannya, walaupun ia sendiri tau bahwa korbannya itu belum sadar dari pingsannya.

“Aku akan kembali nanti setelah lukamu kering, dan akan kuberi tau satu hal, bahwa bukan dirimu yang aku inginkan berada di sini.” Setelahnya ia tersenyum bangga dan bertepuk tangan sangat keras hingga membuat sekitarnya menjadi hening.

“Aku membawakan teman baru untuk kalian.” Ia berteriak kencang agar penghuni ruangan itu mendengar suaranya.

“Biadap. Lepaskan kami. Psikopat.” Mendengar bentakan dari salah seorang di sudut ruangan yang ia tempati malah membuatnya semakin tersenyum lebar, hingga mungkin jika ia tidak berada di kegelapan dapat di katakan bahwa senyum itu sangat mengerikan.

“Jaga mulut manismu. Tinggal tunggu waktunya saja untukku mendapatkan apa yang kumau. Dan untuk teman baru kalian ini, aku tidak memintanya ataupun mengundangnya kemari. Dialah yang datang kemari tanpa undanganku, jadi bukan salahku jika aku hampir membunuhnya.” Ia tertawa keras dan sangat mengerikan. Kemudian ia melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan itu dan menutupnya dengan keras.

Langkah lakinya terkesan santai, berjalan menuju ruangan pribadinya. Tempat ia tadi meletakan pedang yang ia gunakan untuk menusuk korban barunya tadi. Setelah berada di dalam ruangan tersebut ia mengambil selembar foto seorang gadis berambut panjang yang di kuncir kuda. Gadis di foto itu tersenyum lebar memandang kamera di hadapannya dengan tangan mengapit lengan kiri seorang laki-laki berbadan tegap yang tersenyum tipis memandang kamera.

Lalu ia menggerakkan kakinya menuju perapian di ruangan itu dan duduk manis di sofa putar yang ada di depan perapian itu. Ia kembali memandang selembar foto itu dan mengusap foto gadis cantik itu dan tersenyum miring.

“Aku menunggumu di sini, nona.”

Who Are You?Where stories live. Discover now