6

2.4K 98 17
                                    

“Vineta Shila.” Neta membalikan badannya untuk mengetahui seseorang yang memanggilnya tersebut.

“Ya bu?” Yang Neta lihat adalah guru BP-nya yang super galak di hadapannya. Menurutnya, ia tak sekalipun mempunyai masalah belakangan ini.

“Tolong ikut saya sebentar.” Neta hanya mengangguk mengiyakan dan mengikuti guru Bpnya tersebut.
Sebuah amplop coklat diletakan di depannya. Tangannya terulur ragu untuk mengapainya. Sekarang ia berada di tempat yang biasa murid-murid sebut sebagai neraka.

“Tolong berikan itu ke Key Lana. Dia sudah satu minggu tidak hadir kesekolah. Ini surat peringatan dari pihak sekolah.” Tangan Neta menggapai surat itu dan mengangguk.

“Bukankah kamu yang bertanggung jawab atas dia?” Neta sedikit tersentak atas pertanyaan itu. Menurutnya itu terlalu ambigu. Apa gurunya ini menuduhnya?

“Ehm, maksud ibu?”

“Saya dengar dari ketua kelas kalau kamu yang mengatakan Key Lana sedang ada urusan keluar kota dengan keluarganya.” Neta mengangguk-angguk, memang benar dia.

“Memang waktu itu dia sms saya bu, katanya ada urusan ke luar kota. Mungkin urusannya belum selesai. Apa ibu sudah menelfon walinya?”

“Kami sudah menghubungi walinya. Tapi hanya nada sambung yang terdengar. Mungkin kamu bisa ke rumahnya untuk bertanya, atau ke rumah saudaranya mungkin.” Neta tersenyum  dan mengangguk.

“Baik bu, saya permisi.”
Selesai dari ruang BP, Neta melangkahkan kakinya menuju kelas. Dia mendapati sebuah surat beramplop merah di mejanya. Ia memutuskan untuk memasukan amplop merah itu ke dalam tasnya, lalu membukanya nanti saat berada di rumah.

***

Dia baru saja ke rumah Lana. Tetangganya bilang, gadis itu dan keluarganya pergi satu minggu yang lalu dan belum kembali. Neta baru saja menghubungi Lana dan nomer mamanya, tapi nihil. Mereka tidak menjawab. Apa yang harus Neta lakukan? Melapor polisi? Mencarinya? Atau memanggil mata-mata? Mungkin agak aneh untuk yang memanggil mata-mata. Lagian juga belum tentu Lana menghilang, mungkin Lana dan keluarga memang sedang liburan. Baiklah, Neta memillih mengabaikan ini dan akan mengabari guru BP-nya besok.

Sebuah pesan masuk pada ponselnya mengalihkan lamunannya di balkon kamar rumahnya. Pesan nomer tidak di kenal lagi. Neta sunggu malas dengan teror ini. Orang ini hanya mengganggunya saja.

‘Aku menunggumu, nona’

Mungkin si pengirim sudah gila. Apa maksudnya? Seperti dia mengenal Neta saja. Untuk apa si pengirim menunggunya? Apa si pengirim menyukainya? Oh itu sangat tidak mungkin. Baiklah. Dia akan memulai mencari tau. Matanya melihat ke arah buku-buku sekolahnya yang berantakan di atas tempat tidur. Sebuah amplop di sana menarik perhatian matanya. Di sana ada dua buah amplop, yang pertama amplop coklat dari guru BP-nya tadi untuk Lana dan yang satunya adalah amplop merah yang ia temukan di atas bangku tempat duduknya di kelas.

Kakinya tergerak melangkah menuju pinggiran tempat tidur dan meraih amplop merah itu. Ia membuka amplop merah tersebut dan mendapati sebuah kertas putih dengan merah tak teratur terlipat baik di dalamnya. Kertas itu berwarna asli putih, tetapi mempunyai beberapa bercak warna merah dengan motif tak teratur di dalamnya. Yang Neta ketahui, warna merah itu berasa dari darah. Karena warna pudar dari merah tersebut sangat jelas seperti warna darah yang mengering.

‘Aku mengajakmu bermain. Aku inggin kau bermain bersamaku di sini. Ayo, kemarilah. Aku sudah membawa teman untukmu di sini.’

Apa maksudnya? Apa mungkin pesan yang ia terima tadi ada sangkut pautnya dengan isi kertas dengan bercak darah yang baru saja ia baca? Haruskah ia mencari tau? Pesan-pesan yang terlalu aneh menurutnya.

*drrrt drrt*

Handphone Neta berbunyi lagi. Mungkin si pengirim mengirimkan alamatnya. Mungkin. Atau dia akan mengancam Neta lagi? Ataupun memberi tahu maksud dia selama ini?. Netapun meraih handphonenya, terlihat satu pesan masuk di dalamnya dari nomer yang di kenalnya. Dan betapa kagetnya dia, tentang siapa yang mengiriminya pesan.

Samuel Artha : Malam ini ada acara?. Samuel.

Darimana kakak kelasnya itu mempunyai nomer telefonnya? Oh darimanapun, ia sangat senang. Dan jangan tanya, darimana Neta tau kalau itu Samuel Artha. Karena ia telah menyimpan nomer itu sejak lama, jadi walaupun Samuel tidak memberi nama pengirim pada pesan itu, dia sudah tau siapa pengirimnya. Dan lihatlah isinya, apa laki-laki itu mengajaknya berkencan?

Vineta Shila : Kosong kak. Ada perlu apa?

Samuel Artha : Jalan. Suntuk malam minggu di rumah mulu. Jam 7 malem, siap-siap ya.

Vineta Shila : Sip.

Neta sungguh bahagia saat ini. Seorang Sam akan mengajaknya berkencan, em maksudnya jalan-jalan. Baiklah, waktunya untuk berdandan dan memilih baju.

***

Yang namanya jalan dengan Samuel itu ya cuman jalan. Mereka dari tadi hanya berkeliling kota dengan mobil milik Samuel. Neta kira, mereka akan berjalan-jalan ke mall atau yang lainnya. Ternyata ini maksud jalan ala Samuel.

“Kenapa?” Samuel memulai berbicara dengan seorang perempuan di sampingnya yang dari tadi hanya diam.

“Kita mau kemana kak?”

“Jalan.”

“Ke mall?”

“Ya cuman jalan aja.”

“Oh.” Samuel menaikkan sebelah alisnya, tanda tidak mengerti kenapa perempuan ini malah semakin menekuk mukanya.

“Kamu mau ke mall?”

“Oh nggak-nggak kok kak. Nggikut kakak aja mau kemana.”

“Kamu mau jadi pacarku?”

“Hah?” Neta tercengang mendengar kalimat tadi. Sungguh aneh di telinganya. Samuel berdehem dan menepikan laju mobilnya. Dia sejenak memejamkan matanya lalu menghadap kepada Neta. Tangan dinginnya memegang tangan berkeringat dingin milik Neta.

“Kamu milikku.” Mata tajamnya menancap pada Neta. Membuat Neta benar-benar tak berkutik dan hanya berkedip. Beberapa detik kemudian Neta menghempaskan tangan itu dan melipat tangannya di depan dada.

“Nggak romantis.” Neta mencibir Samuel, sedang yang di cibir hanya tersenyum miring. Samuel kembali pada posisi mengemudinya dan mulai menjalankan mobilnya kembali.

“Mulai detik ini, kamu milikku Neta. Kamu. Milik. Samuel Artha. Ingat itu.” Dan setelah itu, Neta merasa ingin bunuh diri karena kata-kata Samuel.

Who Are You?Where stories live. Discover now