2

3.3K 145 17
                                    

Beberapa waktu berjalan, hingga ujian tengah semester telah berlalu. Hingga kembali menikmati pelajaran-pelajaran seperti sediakala. Kegiatan ekstrakulikuler takluput kembali berjalan, setelah berhenti sejenak agar tidak mengganggu jalannya ujian tengah semester ganjil tersebut. Setelah kegiatan ekstrakulikuler yang diikutinya selesai, Vineta menunggu kakaknya yang berjanji akan menjemputnya sore ini. Akan tetapi setelah hampir satu jam berlalu, kakaknya belum juga menampakkan batan hidungnya. Ia mencoba menghubungi kakak tunggalnya dan hanya terdengar nada sambung di sana. Merasa jengkel, akhirnya ia memutuskan untuk pulang menggunakan angkot. Namun baru beberapa melangkah, dirinya di kagetkan oleh suara bel montor dari belakangnya. Ia menoleh dan mendapati seorang laki-laki berumur sekitar 20 tahun mematikan montornya dan melepas helm yang ada di kepalanya.

"Lama banget sih?" Merasa kesal dengan orang yang menjemputnya iapun sedikit membentaknya.

"Mau pulang atau tidak? Kalau kamu tidak ingin pulang ya sudah, aku mau kembali ke tempat kerja."

Dengan kesal, Netapun menaiki montor kakaknya itu. Dan sesampainya di rumah kakanya langsung pergi dari hadapannya tanpa masuk ke rumah bersama dengan dirinya. Sepi, itu kalimat yang tepat dalam mendiskripsikan isi rumahnya. Bukan di dalam rumahnya tidak ada perabotan, karena sesungguhnya rumah ini sangat megah dengan isi dan detail perabotannya yang terlihat mewah. Sedang sepi di sini perlambangan dari keadaan keluarga yang ada di dalam rumah ini. Papa dan Mamanya bercerai tiga tahun yang lalu, kini ia hidup dengan kakaknya dan beberapa asisten rumah tangganya. Ia tidak mengetahui keberadaan Papanya sejak pengadilan memutuskan hak asuh dirinya dan kakaknya berada di bawah Mamanya. Dan Mamanya sendiri dinyatakan meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat tahun lalu.

Setelah memasuki rumah, ia langsung pergi menuju kamar untuk berganti pakaian. Setelahnya ia turun ke dapur untuk mengisi perutnya yang keroncongan.

"Non mau makan apa?" Salah seorang asisten rumah tangganya menanyai Neta, saat ia baru saja turun dari kamarnya yang berada di lantai dua.

"Oseng kangkung aja deh mbak. Sedang ingin makan itu."

"Baik non."

"Oiya mbak, nanti malam tolong buatkan ayam penyet ya."

"Baik non. Permisi." Neta mengangguk mengiyakan dan pergi ke ruang tengah di rumahnya yang dulu digunakan untuk ruang keluarga. Di sana ada televisi, sofa, meja, seperti ruang keluarga biasanya yang ada di rumah-rumah lain. Tetapi bedanya di sana terdapat grand piano berukuran medium yang masih sangat bagus dan terawat.

Sayangnya, piano itu sudah lama tak disentuh pemiliknya. Piano itu milik Mamanya. Mamanya sangat ahli memainkan benda itu dan dipadukan dengan suaranya yang merdu. Kadang piano itu dulu juga Neta gunakan untuk berkolaborasi dengan kakaknya yang menggunakan gitar dan kedua orang tuanya yang bernyanyi bersama. Namun sudah sangat lama sekali ia tidak menyentuh piano ini, karena itu hanya akan mengingatkannya pada orang-orang yang meninggalkannya. Sekarang ia mencoba merasakan kehadiran kasih sayang mereka dengan duduk pada kursi yang menghadap piano dan mulai menekan tuts-tuts yang ada pada piano itu. Mencoba mengulang kembali cara-cara menggunakan piano itu dengan menekan tuts-tutsnya sampai membentuk sebuah nada lagu. Sebuah lagu yang sering dinyanyikan kedua orang tuanya, dulu. Lagu ciptaan dari Papa dan Mamanya, lagu penuh cinta yang sekarang akan membuatnya bersedih. Tetes demi tetes air matanya keluar, merasakan rasa kosong itu tidak pernah terisi lagi.

Ia menghentikan aktiviasnya dan menyeka air matanya setelah merasa tidak kuat berada dalam posisi itu. Ia bergegas menuju ruang makan karena mencium bau makanan kesukaannya tercium sudah matang.

Menjelang malam ia memutuskan untuk makan malam sendirian dan bergegas pergi ke kamar. Kakaknya mungkin malam ini tidak pulang lagi, untuk itu ia memutuskan untuk makan sendirian di kamarnya. Entah apa yang dilakukan kakaknya, ia selalu sibuk dengan urursan-urusan di dunianya sendiri. Dia adalah Purnama, yang sekarang menginjak usia 23 tahun. Entah apa pekerjaan yang dilakukannya di samping ia menyelesaikan kuliah, hal yang membuatnya jarang pulang ke rumah dan berbincang bersama adiknya. Hal itu membuat Neta selalu merasa sendiri, tanpa siapa-siapa di dunia ini.

Memutuskan untuk belajar dan tidak memikirkan kelakukan kakak tunggalnya, Neta mulai menekuni sebuah buku sastra. Baru beberapa menit ia membaca, sebuah dering telephone mengusiknya. Nomer tidak dikenal tertera di layar handphonenya, membuat ia enggan mengangkat telefon tersebut. Tetapi pada akhirnya, ia tetap mengangkat telefon tersebut karena penasaran.

"Hallo."

"..."

"Maaf dengan siapa?"

"...."

Tuttuttut. Si penelfon itu mematikan telfonnya secara sepihak tanpa mengeluarkan satu patah katapun. Perasaan bingung dan kaget memenuhi rongga pikiran Neta, kemudia perasaan itu bertambah dengan perasaan takut. Namun mau bagaimana lagi, mungkin saja orang salah sambung. Setidaknya itu yang ada di pikiran Neta saat ini.

Menjelang tengah malam ia memutuskan menyudai belajarnya. Membaca membuatnya lupa waktu, dan sekarang sudah pukul sebelas lebih empat puluh lima malam. Daripada besok telat sekolah, ia memutuskan untuk tidur. Tetapi sebelumnya ia mengecek handphonenya untuk melihat apakah kakaknya mengirim pesan untuknya atau tidak. Ternyata benar, ada pesan masuk dari kakaknya sekitar satu jam yang lalu. Pesan itu berisi tentang kakaknya yang tidak bisa pulang karena pekerjaan dan ia pun membalas seperti biasa, yaitu dengan kata Ya dan Semoga cepat selesai. Baru saja ia meletakkan handphonenya di meja kecil di dekat tempat tidurnya, sebuat pesan lain masuk. Ia kira dari kakaknya, ternyata dari sebuah nomer tidak di kenal.

'Rache'. Itulah yang tertulis pada isi pesan tersebut. Neta tidak mengerti maksud si pengirim pesan. Mungkin karena ia sangat mengantuk, ia mengabaikan pesan tersebut. Dan yang ia lakukan adalah meletakkan ponselnya dan beristirahat. Karena hari esok menantinya.

Who Are You?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang