4

2.6K 113 2
                                    

Laki-laki berumuran kurang lebih 23 tahun itu sedang bersantai di ruang keluarga di rumah sahabatnya. Banyak cemilan dan kaleng-kaleng minuman dingin di depannya. Sebuah laptop berada di pangkuannya, dan sedang memutar sebuah video. Tangannya menulis sebuah kata-kata dan kalimat-kalimat yang ditulis dengan tidak beraturan. Mendengar pintu utama dibuka, ia langsung membereskan semua benda di hadapannya, termasuk sebuah buku catatan dan laptop tadi. Vandi mengerutkan dahinya melihat remaja cantik berstatus adik sahabatnya itu pulang dengan muka kusut.

"Cewek cantik kenapa kusut banget mukanya?" Vandi duduk tegak pada sebuah sofa di sana dan melipat tangannya di depan dada, sambil menatap jenaka kepada remaja cantik ini. Sedang perempuan ini sekarang duduk di sebuah sofa yang agak jauh dari Vandi sambil menatap datar ke arah Vandi.

"Sedang apa kamu di rumahku?" Neta berucap sinis kepada sahabat kakaknya itu. Vandi tertawa renyah menanggapi gadis manis itu.

"Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kamu sudah pulang sepagi ini?"

"Hanya kurang enak badan. Dan menurutku kedatanganmu di sini malah membuatku tambah pusing."

"Oh benarkah? Baiklah, biarkan aku yang menyembuhkanmu."

"Bawakan aku makan siang. Aku tunggu di atas." Vandi tersenyum dan mengangguk. Netapun melangkah pergi menuju kamarnya dan Vandi menuju dapur untuk mengambilkan makan siang untuk anak itu. Saat masuk kedalam kamar perempuan itu, Vandi merasakan hatinya pedih melihat perempuan yang duduk di atas tempat tidur itu menatap kosong ke arah balkon. Pakaian perempuan itu sudah berganti menjadi kaos lengan panjang dan celana pendek selutut. Vandi menutup pintu perlahan dan meletakkan makan siang dan air untuk Neta tadi di meja dekat tempat tidur perempuan itu. Vandi berjalan kearah Neta dan duduk di sebelah Neta.

"Makanlah." Neta hanya menggangguk untuk mengiyakan.

Vandi menghela nafasnya secara kasar. Sungguh ia kawatir kepada adik sahabatnya itu, mungkin karena ia menyayanginya seperti adik sendiri. Setelahnya Neta hanya memakan makan siangnya dalam diam dan Vandi memilih meninggalkannya. Merasa cukup kenyang, Netapun tertidur dengan segala macam permasalahan di otaknya. Dia merasa tidurnya cukup nyenyak saat keadaan psikologisnya mulai tertekan dan terguncang karena teror yang di kirimkan kepadanya. Dan entah bagaimana bisa ia tidur, yang pasti saat ini ia benar-benar tidur pulas.

Sekiranya pekerjaannya selesai, dan waktu juga menunjukkan pukul tiga sore lebih. Vandi memilih bangkit dari sofa ruang keluarga rumah itu dan berjalan ke kamar Neta. Dilihatnya Neta masih tertidur pulas, Vandi memilih masuk dan mengecek suhu di badan Neta. Mungkin Neta tadi sedikit panas dan sekaran lebih baik, mungkin. Setelah berhasil masuk dan mendekat kearah tempat tidur, ia bisa melihat wajah gadis itu bercucuran keringat dengan wajah pucat dan tangannya mengepal kuat. Vandi segera menghampiri Neta, duduk di pingiran tempat tidur dan mengelap keringat itu dengan saputangan miliknya. Tangan Vandi yang satunya di gunakan untuk menggenggam tangan kanan Neta yang mengepal.

"Hei, ada apa denganmu?" Vandi mengguncang tubuh Neta secara pelan dan menepuk-nepuk pipi gadis itu. Neta bergerak gelisah dan tiba-tiba terbangun. Matanya menangkap sosok Vandi yang menatapnya kawatir, nafasnya terengah-engah. Melihat hal itu, Vandi bergerak memeluk gadis itu dan sesekali mengusap pungung gadis itu.

"Aku di sini bersamamu." Kata-kata itu berulang kali Vandi katakan untuk menenangkan Neta, dan memberitahunya bahwa Neta tidak sendirian karena ada Vandi bersamanya.

"Aku takut. Sungguh aku takut." Neta berkata dengan sangat lirih dan bergetar. Vandi menguatkan pelukannya dan kemudian merenggangkannya.

"Apa yang kamu takutkan?" Vandi menangkup wajah Neta agar mata itu menatap matanya. Dan mata mereka bertemu, membuat Neta merundukkan wajahnya kembali.

"Seseorang sedang mengancamku." Kalimat itu begitu lirih yang membuat kening Vandi berkerut dalam.

'Seseorang sedang mengancamku'

'Dia mengatakan sesuatu kepadaku. Dia bilang aku akan mati.'

'Aku takut. Sungguh aku takut'

'Tolong aku kak..'

'Kak.. Aku sayang kakak'

Kalimat yang di ucapkan Neta membuatnya teringat kalimat-kalimat itu. Kalimat itu terus berputar-putar di sana. Kalimat yang didengarnya tujuh tahun silam, dari seseorang yang ia cintai dan bahkan sampai detik ini cinta itu masih ada untuk seseorang yang mengucapkan kalimat itu.

"Kak Ndi." Neta menatapnya dan menggoyangkan lengan Vandi pelan, dengan senggukan yang masih tersisa. Vandi tersenyum tipis saat memandangnya.

"Kamu pasti baik-baik saja Shil. Aku di sini bersamamu." Vandi menatap Neta hangat dan menggenggam tangan Neta. Berusaha meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

'Kamu pasti baik-baik saja'

'Jangan memikirkan hal-hal yang tidak akan terjadi'

'Vin!'

Beberapa kalimat itu tiba-tiba terlintas di otak Neta, dan berputar seperti kaset lama yang tidak di putar. Tidak jelas memang, tapi ia yakin itu suara anak laki-laki. Lagipula dia juga tidak terlalu ingat bagaimana masa kecilnya.

Vandi tersenyum lalu mengecup puncak kepala Neta. Neta sedikit kaget dengan kecupan hangat itu. Tapi ia mengerti, karena Vandi ingin menenangkan dirinya.

"Tenanglah, sekarang kamu mandi dan kita makan malam. Purnama akan pulang malam ini."

"Jangan beritahu kakakku soal ancaman itu." Vandi mengangguk untuk permintaan itu, dan dia tidak merasa dirugikan di sini.

Malamnya, seperti yang di katakan Vandi tadi. Purnama pulang ke rumah dan ikut saat dalam makan malam di rumah itu. Purnama mengatakan bahwa ia akan berada di rumah selama seminggu ke depan dan menyarankan Neta untuk tidak pergi ke sekolah besok pagi. Karena suhu tubuhnya masih tinggi dan mungkin dia butuh istirahat di rumah.

Who Are You?Where stories live. Discover now