Chapter 1 : Taylor Swift - Sweeter Than Fiction

28.6K 849 72
                                    

'Just a shot, just a shot in the dark, oh oh
All you got, all you got are your shattered hopes
They never saw it coming
You hit the ground running
And now you're onto something, I, I, I say
What a sight, what a sight when the light came on
Proved me right, proved me right when you proved them wrong
And in this perfect weather
It's like we don't remember
The rain we thought would last forever and ever
There you'll stand, ten feet tallI will say, "I knew it all along."
Your eyes-wider than distanceThis life-sweeter than fiction'

"Good morning, Fian"

Cowok yang tengah asyik dengan gitarnya tersebut langsung mendongakkan kepala ketika mendengar seseorang memanggilnya dari balik dinding penghubung antara ruang tengah dengan dapur rumah kecil tersebut. Matanya coklat khas orang Indonesia. Berbeda dengan teman sebayanya, bibirnya merona merah muda menyala karena ia tak pernah sedikitpun menyentuh rokok. Selain itu, rambutnya yang tebal tersebut menutupi hampir semua dahinya. Fian tersenyum saat mendapati sosok yang baru 3 hari ini ditempatkan dirumahnya sementara waktu.

"Hi, Ben." Lirih Fian sembari meletakkan gitar tuanya ke lantai, sedikit mengagetkan Ratna yang sedang mendengkur diatas permadani ala kaum Persia yang beberapa tahun lalu dibelikan oleh Pak Denya. "Bagaimana tidurmu?"

Ben, pria berkebangsaan Britania Raya tersebut menghampiri Fian yang sedang duduk di dekat piringan kuno milik Bu Denya. "Boleh aku duduk?" Tanyanya ketika berjarak hanya tiga langkah dari cowok pribumi tersebut. Fian mengangguk. Iapun menarik sebuah kursi rotan tua dan duduk di samping Fian. "Aku rasa aku pernah mendengar lagu itu sebelumnya.."

Fian mengulum senyum manis dan mengangkat Ratna ke atas pahanya. Kucing Anggora tersebut tak bisa berbuat apa-apa selain mengeong, tapi saat selanjutnya Ia menikmati usapan kulit Fian diatas tubuhnya. "Sweeter Than Fiction, dari Taylor Swift. Dan kamu belum menjawab pertanyaanku, Ben."

"Oh, benar. Maaf. Aku masih agak kurang nyaman dengan kasurnya. Tapi aku yakin aku bisa membiasakannya." Ben terkekeh saat membayangkan kasur yang mengerikan itu. Di negerinya, Ia bisa tidur dengan nyaman diatas kasur yang empuk. Tapi di Indonesia, kasurnya tanpa per. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak dimalam hari karena kasurnya diletakkan diatas papan papan yang sudah disusun. Punggungnya sakit memang, tapi memang itu resikonya. "Kucing yang cantik."

Fian mengangguk. "Namanya Ratna."

"Well," Ben menelan ludahnya. "Di Inggris aku juga punya peliharaan. Tapi anjing. Kami menamainya, Josh."

"'Kami'?" Ulang Fian dengan sebelah alis yang terangkat. "Aku pikir tadi kamu menyebut kalau hewan itu milikmu?"

"Memang." Angguknya. "Aku dan Josh, kami berdua sangat dekat. Meski, dia itu dasarnya anjing milik keluargaku."

"Aku selalu suka dengan anjing." Fian menimpali. "Sayang sekali aku alergi dengan bulu anjing."

"Sayang sekali ya.." Ben mengulangi, tampak dia sangat menyayangkannya. Padahal, Josh mungkin akan senang berada diatas paha Fian seperti itu. "Omong-omong, kamu bisa nyanyi apa aja?"

Fian mengangkat kedua bahunya sambil memanyunkan bibir. "Tergantung. Aku cuman menyanyikan lagu-lagu yang aku suka."

"Apa kamu pernah mendengar lagu, 'Creep' nya The Killers?"

Fian mengangguk. "Tentu saja. Tapi aku tak mendengar versi aslinya. Hanya versi penyanyi lain waktu tampil di acara ajang pencarian bakat beberapa tahun yang lalu." Jawabnya.

Ratna tahu diri kalau Fian akan kembali memainkan gitarnya. Maka dia berdiri dan memilih tempat lain untuk mendengkur : paha Ben. Fian langsung melotot pada kucing kesayangannya itu. *Ratna! Nggak sopan! Turun!* batinnya seolah olah Ratna mengerti.

Good LifeWhere stories live. Discover now