#8 Mimpi Itu

1.2K 120 0
                                    

Merasa sangat bodoh. Aku mengakui diriku sendiri kepada orang lain. Aku pasti akan mendapat masalah.

Tuan Stan menarik kursi yang ia duduki kearah ku. Kami berdua benar-benar dekat sekarang. Lalu, ia menopang dagu nya dengan tangan kanan nya.

"Apa maksudmu kau seorang Indigo.?"

Aku terdiam. Aku takut, jika bercerita maka mimpi itu akan menjadi kenyataan. Tapi, tuan Stan begitu memaksa, dan aku sangat sulit untuk menolaknya.

"Kenapa diam saja, ayo.. lanjutkan cerita mu nak"

"Aku.. Aku,, tidak bisa tuan.. Maaf. "

"Apa yang kau takutkan,? Aku bukan lah penyihir yang bisa mengambil keistimewaan mu. Ceritakan saja, aku disini bukan sebagai penjahat. Melainkan hanya orang tua yang ingin mendengar cerita menakjubkan dari seorang anak bukan siapa-siapa di tempatnya. Maka dari itu cerita kan lah nak." Amatir, aku antara percaya dan tak percaya untuk menceritakan ini.

"Eee.. Aku bisa melakukan telekinesis, berbicara dan melihat makhluk ghaib, aku juga bisa mengotak-atik otak ku agar bisa berpikir untuk lebih cerdas bahkan sangat cerdas dalam memecahkan masalah. "Jawabku agak takut.

"Makhluk ghaib? Sebentar, Apa kau juga bisa melihat masa depan.? Dan apa kau juga bisa membaca pikiran orang lain? Apa kau juga membaca pikiran ku.?" Tuan Stan sekarang malah tampak seperti peneliti yang sedang mewawancarai alien.

"Iya,, aku bisa melihat dan berbicara dengan makhluk ghaib.  Tapi, aku tidak bisa membaca pikiran orang.  Lalu, aku juga sesekali melihat masa depan dan paling sering ialah melihat masa lalu ku yang kelam."

"Begitu kah, (menopang dagu) bisakah kau berlari dengan cepat? Atau bernafas di dalam air? Terbang?" Tuan Stan memang sudah sah menganggapku sebagai alien.

"Aku bisa berlari dengan cepat, tapi tidak untuk terbang dan bernafas dalam air. Aku bukan ikan ataupun burung tuan." Aku menjelaskan dengan sedikit kesal.

"Ok, maafkan aku. Begini, kau tinggal sendiri setelah orangtuamu meninggal, lalu bagaimana dengan sekolah mu? Kita tidak bisa memasukkan seseorang tanpa identitas dan uang tentu saja kedalam sebuah sekolah bukan?" Tuan Stan masih tampak penasaran.

"Tentu saja memerlukan uang untuk proses masuk sekolah dasar, akan tetapi perjalanan aku kecil tidak secepat itu. Setelah dari festival itu, aku mencoba bertahan hidup dengan koin koin yang peroleh. Aku membeli roti ataupun minuman dengan semua koin koin tersebut, dan tentu saja  koin koin itu tak cukup. Aku lalu berinisiatif dengan tujuan bertahan hidup, memberanikan diri untuk keluar dari rumah dan berjalan menyusuri jalanan. Sesuatu yang indah memang terjadi biasanya setelah badai buruk datang..."

"..Aku yang malang dan kurus itu, tidak sengaja bertemu dengan kakekku di jalanan. Saat itu, kakek mengatakan bahwa dia  sangat ingin bertemu dengan ku dan papa di rumah. Kami memang sudah lama tidak pulang menjenguk kakek. Dia juga tahu jikalau papa pasti sibuk, maka dari itu dia putuskan untuk datang sendiri menjenguk papa dan cucunya. Dan betapa terkejutnya dia, saat tak sengaja melihatku yang tertelungkup di aspal. Lalu ia membawa ku pulang dan merawat ku. Ia juga begitu terkejut melihat keadaanku dan keadaan rumah. Ia juga sempat tidak percaya mengenai kematian orang tuaku. Kakek orang yang baik, ia Memberi ku makanan dan beberapa fasilitas di rumah. Dia pula lah yang menyekolahkan ku, ia juga sangat bangga dengan ku. Ia bilang aku adalah cucunya yang  pintar, buktinya saja aku langsung naik ke kelas 4 saat kakek mendaftar kan aku ke sekolah. Dia juga memberikan semua warisan nya padaku. Sehingga aku bisa bertahan hingga kini." Tuan Stan untuk sekian kalinya tertegun mendengar ceritaku.

"Langsung masuk kelas 4? Wahh.. bukankah itu menarik. Jay 2 tahun lebih tua darimu juga langsung masuk kelas 4. Saat itu aku tidak memberikannya langsung masuk ke kelas 6 karena kupikir dia terlalu mudah. Bukankah kalian saat itu setidaknya berumur 6 atau 7 tahun, betapa tak karuan nya aku kala itu. Kalian berdua memang beda. "

Perfect Indigo Where stories live. Discover now