Chap# 1

134K 7.8K 230
                                    

Dunia menyisakan warna hitam tanpa dirinya. Udara bagai terenggut ketika sosoknya menghilang . Dia adalah segalanya, cinta pertama dan matiku. Tapi sayang, keberadaan diriku hanyalah sepenggal kepingan kenangan usang tidak penting bahkan hanya sekedar untuk di ingat.

**********************

Untuk kesekian kali mata menatap lembaran kertas berisi penggalan kalimat cinta tidak berbalas. Curahan perih hati si penulis yang tidak lain diriku sendiri tentang seberapa besar perasaan untuk seseorang laki-laki, cinta pertamaku. Bukti yang tak terbantahkan ketika logika kalah telak dan membiarkan ego menjadi pemenangnya.

Pencuri hati itu bernama Barra Hardiwijaya. Mungkin terlalu picik jika aku menganggap dirinya sempurna tapi begitulah kenyataan yang terjadi. Dalam pandangan, dia tidak bisa di bandingkan dengan siapapun meski ada beberapa laki-laki lain mencoba mendekat saat itu.

Dengan tubuh tinggi, perawakan tegap dan wajah tampan yang menurun dari sang ayah. Gosip banyaknya kaum hawa yang mengagumi bahkan sampai berharap lebih tidak lagi aneh. Dulu aku sangat jumawa, merasa lebih di banding wanita lain karena kedekatan keluarga kami. Sejak kecil kami sering bermain bersama, Barra bahkan menganggapku sebagai adiknya. Hal itu tidak pernah berubah bahkan setelah kami beranjak dewasa.

Perasaan cinta hampir membuatku gila, sering kali tanpa pikir panjang menghalalkan segala cara demi memonopoli keberadaannya untuk diri sendiri. Keadaan semakin tidak terkendali ketika muncul sesosok wanita yang pada akhirnya mampu merebut hati dan perhatiannya. Buta oleh perasaan sendiri menjadikanku sosok jahat di matanya dan orang-orang sekeliling. Akibatnya sangat fatal, perlahan satu demi satu teman-teman mulai menjauh karena tidak nyaman bahkan Barra membenciku, amat sangat benci.

Ayah dan Bunda sangat marah dengan keegoisanku pada waktu itu. Entah kenapa pemikiranku begitu bebal hingga semua nasehat untuk mampu menerima kenyataan hanya terdengar bagai angin lalu. Dengan terpaksa keduanya memindahkan aku ke luar kota, tinggal bersama Nenek yang sangat disiplin agar bisa melupakan semua obsesi berlebihan pada sosok Barra. Tapi untuk kesekian kali, melupakan seseorang yang pernah begitu sangat di sukai tidak semudah mengucapkan kata-kata. Rasa ini masih mengakar kuat meski dua tahun berlalu tidak sekalipun melihat wajahnya.

Seiring berlalunya waktu dan bertambahnya usia, aku mulai menyadari kesalahan yang pernah terjadi. Cinta tidak harus memiliki sekalipun melalui paksaan jika takdir yang tertulis di antara kami tidak berjodoh. Pahit memang tapi kalau dia bahagia bersama wanita lain apalagi yang bisa aku lakukan. Terlebih Barra semakin protektif pada kekasihnya sejak peristiwa itu. Insiden yang membawaku dalam pusaran masalah karena tidak sengaja melukai wanita yang di cintainya.

"Kamu yakin mau ke rumah Tante Cinta, Ra?" Pertanyaan Bunda menyentak lamunan. Terbuai kenangan masa lalu tidak memyadarkanku pada sosok yang tengah berdiri di depan pintu kamar. Kekhawatiran terlihat dari tarikan di sudut bibirnya. Dia mungkin khawatir aku akan berulah jika bertemu dengan Barra.

"Iya, Bun. Devira nggak apa-apa kok. Lagian kasihan Pak Cepi masih sakit kalau harus di paksa mengantar. Jarak rumah Tante Cinta juga nggak jauh." Jemariku masih sibuk menalikan tali sepatu meskipun sebenarnya ada ragu yang menyelinap. Pak Cepi, supir yang biasa mengantar Bunda kebetulan tidak masuk beberapa hari ini karena sakit.

"Ya sudah. Nanti Bunda bilang sama Tante Cinta kalau kamu mau datang mengantar barangnya." Wanita yang paling kusayang berlalu dari hadapan. Bunda dan Tante Cinta masih berteman baik meskipun kedua anaknya pernah terlibat masalah. Persahabatan yang membuatku iri.

Aku mengerti maksud perkataan Bunda hanya ingin menjauhkan dari masalah. Dia tidak ingin diriku terluka karena hal yang sama berulang kali. Setelah kejadian itu, dia melarang keras untuk menemui Barra meski hanya sekedar menelepon. Sekalipun pada saat itu posisiku yang salah, sebagai orang tua Bunda tidak bisa menerima putri tunggalnya di marahi di hadapan banyak orang.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Where stories live. Discover now