Part 4

271 26 7
                                    

(4)

Hal yang selalu membuat Echa semakin malas berangkat ke kantor adalah saat ia harus berangkat bekerja setelah sebelumnya mengambil jatah 'day off'.

"Halo Assalamualaikum. Yaa Ibun.." Echa menjawab panggilan telepon dari Ibunda kesayangan dengan nyawa yang belum seluruhnya terkumpul.

"Kamu baru bangun? Enggak sholat?! Mau jadi naon ari kamu teh??!! Ibun gak suka deh ya! Kemarin kamu gak ngantor pula kan, awas kalo kam-" Belum selesai Ibunda 'menceramahi' Echa, ia sudah memotong kalimatnya dengan pembelaan diri

"Haduhh.. Ibun berisik banget pagi-pagi, Echa udah sholat kok tapi ya tidur lagi setelah itu, kan Echa masih ngantuk banget Bun, kemarin Echa day off karena habis ada program live awarding. Jam berapa sih ini?" Echa lebih bertanya pada dirinya sendiri karena merasa masih amat mengantuk.

"Ya ampun Ibuun ini baru jam 8, masih pagi banget! Kantor aku kan dekat, udah ya Bun aku mau lanjut tidur, nanti aku telepon balik yaa mmuah" Tambah Echa ketika Ia sudah berhasil menemukan putaran arah jarum jam.

"Eeeehhh kamu teh udah mulai berani sama Ibun?! Berani nutup telepon?!! Nanti Ibun kutuk kamu jadi anak cantik, biar tau rasa! Buru geura bangun, mandi, udah siang, anak gadis gak baik jam segini masih gugulingan weh di kasur! Kamu teh udah tua Echaaa"

Ibun gemas sekali mendengar anak gadis satu-satunya yang sudah beranjak semakin dewasa namun polahnya tidak berubah seperti anak-anak.

"Aku belum tua ya Ibuuun, setidaknya umur aku bahkan perak aja belum sampe kok" Echa tersinggung jika disebut-sebut tentang dirinya yang sudah semakin 'dewasa'.

"Terserah kamu lah. Terus itu nanti weekend ini kamu jadi kemari? Jangan nyetir sendirian ya sayang" Nampaknya Nyonya Wijaya sudah tidak marah lagi pada anak tunggal kesayangannya.

"Jadi lah Buun, aku nanti ditemenin Diza kok, katanya dia mau nganterin. Kita berangkat Jumat malam, siapin makanan spesial buat Echa yang banyaaaaakk ya Bun!" Seolah sang Ibunda melihatnya, ia memasang cengiran manja khas dirinya saat merayu.

"Kamu pasti lagi nyengir-nyengir kuda deh, ih jelek banget anak Ibun! Udah ah Ibun takut ketularan jeleknya kamu yang belum mandi"

"Ibun usiiil ngeseliin! Masa anak sendiri dibilang jelek?! Nanti aku laporin Ayah! Hueeeee Ayaaahh istri mu nakaaal, mana Bun Ayahnya? Aku mau ngomong sama Ayah"

"Ih kamu mah pundungan, ngadu-an pula gak asik ah! Yaudah kalo kamu udah sama Diza mah Ibun tenang aman sentosa deh, Diza kan ganteng banget, baik hati nan sholeh pula, gak mungkin lah ya dia ngapa-ngapain kamu di jalan, ya secara kamu diliat dari segi mananya juga gak ada yang sedap dipandangnya"

Echa seperti tidak terima dengan perkataan Ibunda hingga ingin protes, namun belum sempat ia meluncurkan kalimat pembelaannya kini Ibun sudah kembali bersuara,

"Naon kamu mau protes? Berani? Sok, berani?? Hee Pisss yah sayang, mmuah. Udah ah Ibun bosen denger suara kamu, dadahh... Assalamualaikum"

Klik.

Ibun langsung memutuskan pembicaraannya dengan Echa di telepon, sengaja meledek anak semata wayangnya yang sangat ia sayangi. Rasanya ia sangat rindu, sudah hampir 1 bulan ini tidak menjumpai Echa di Jakarta.

"Ibuuun, aku sebeeell! Ih liat ya Bun nanti di Sumedang kita buat perhitungan" Echa nampak geram dengan Ibunda, dan mengeluarkan omelan untuknya namun pembicaraannya sudah diputus sedari tadi dari Sumedang sana.

Belum selesai Echa menggerutu akibat ledekan Ibunda, terdengar kembali bunyi dering khas iphone miliknya.

"Ya, halo!" Masih dalam keadaan marah, ia menerima panggilan telepon. Ternyata yang menghubunginya kali ini adalah sahabat pria terbaiknya sepanjang masa.

The Art of FriendshipWhere stories live. Discover now