Chapter 22

1.9K 96 7
                                    


Author's POV

Flashback

" Azeil dapet ranking satu? Wah wah, dia sama pinternya dengan papanya ya? " kekeh seorang pria berusia sekitar 40-an sambil bertelepon ria dengan istrinya.

" Walah, kepedean kamu... eh, dan ngga lupa juga Oliv. Dia ditawarin sekolahnya untuk ngikutin olimpiade biologi tingkat kota " ucap sang istri dengan nada suara antusias. Pria itu pun tersenyum senang, merasa bangga dengan anak-anaknya.

" Lalu, gimana Essel? "

" Kuliahnya baik "

" Baik? Itu saja? "

" Aku mencemaskan masa depannya. Dia berubah banyak. Tau kan kalo dulu dia itu juara terus, terbuka banget, dan kalo ada apa-apa pasti cerita sama kita. Tapi sekarang... "

" Dingin " jawab si pria sambil menghela napas berat. Ia juga mencemaskan putri sulungnya itu, tapi tidak tahu harus melakukan apa agar putrinya kembali seperti dulu. Ia hanya ingin melihat putri periangnya kembali, putri yang jago matematika itu kembali, dan putrinya dengan sikap hangat ke semuanya. Tidak dingin seperti sekarang.

Dia tidak ingin melihat Essel terpuruk

" Ya, dingin. Aku tidak pernah mengajarinya seperti itu. Kesannya tuh jadi judes gimana gitu. Aku rindu Essel yang dulu "

" Aku juga begitu " tukas si pria sambil menginjak rem mobilnya ketika lampu merah menyala. Lalu dia pun teringat sesuatu. " Fel, aku bisa pulang cepat hari ini. Karena pekerjaan kantor sudah kuselesaikan "

" Bener? Baguslah, kalo gitu cepet pulang ya... hati-hati dijalan "

" Oke, assalamu'alaikum! "

" Waalaikumsalam... "

Tut tut... sambungan telepon pun terputus. Pria itu menaruh ponselnya di dashboard mobil lalu kembali memfokuskan diri pada jalanan yang terhampar di depan matanya.

Ketika lampu lalu lintasnya berubah jadi hijau, ia melajukan kembali mobilnya dengan kecepatan konstan sambil sesekali bersenandung senang karena bisa pulang lebih cepat dari seharusnya. Hari masih siang dan ia diperbolehkan pulang? Oh itu rezeki.

Secara tiba-tiba segerombolan geng motor menyalip jalan pria itu sehingga mobil yang dikendarai pun lepas kendali. Mobilnya berjalan ke arah yang salah, mengarah ke sebuah toko dipinggir jalan. Pria itu berusaha keras meraih rem mobil dengan niat menghentikan laju mobil sebelum semuanya terlambat.

Dan... nyiiit!

Mobil pun berhenti, hampir saja menabrak toko. Untung tabrakan tidak terjadi. Tapi kenapa semua orang diluar sana menatapnya? Mereka mulai mengerumuni mobil si pria itu dengan raut wajah kasihan. Kasihan? Eh? Apa yang terjadi sebenarnya?

Dengan lincah, pria itu keluar dari mobilnya dan mencari tahu apa yang terjadi. Dan yang ia lihat bukanlah sebuah pemandangan yang bagus. Ini jauh dari kata " Bagus ". Karena yang pria itu lihat sekarang adalah...

Seorang anak perempuan dengan seragam putih biru yang terkapar mengenaskan tepat di depan mobilnya

Pria itu membelalak lebar melihatnya. Anak itu, masih muda. Memang pantas di kasihani karena situasinya yang amat sangat mengenaskan. Darah berceceran dimana-mana. Dan terus mengalir dari kepala anak itu. Gawat, kepala adalah salah satu bagian tubuh yang penting. Karena didalamnya ada otak, dan kalau anak itu kena gegar otak gimana?

Apa yang telah kulakukan?, batin si pria dengan wajah kusut. Sadar bahwa ia baru saja menabrak seorang gadis mungil yang tidak berdosa. Kenapa ia tidak ingat bahwa ada seorang anak SMP di depan toko? Sejak kapan anak itu ada disana? Oh, banyak sekali pertanyaan tanpa jawaban yang hinggap dalam benaknya.

Waiting ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang