Epilog

3.8K 133 6
                                    


7 tahun kemudian...

Tatapan dinginku jatuh pada seorang anak remaja berusia 14 tahun yang berpakaian rapi, tampang ganteng, dan punya sopan santun. Tapi sayang sekali, semua topeng tebalnya itu tidak akan mempan padaku.

" Ibu mau dibeliin ketoprak? Nasi goreng? Atau kebab? "

Cih, dia sedang berusaha menghindar dari topik sebenarnya. Pintar nyogok juga ini anak!

" Memangnya saya ngga tau kelakuan kamu tadi? Kamu tidur di kelas dan ngga ngerjain PR. Kamu mau dihukum sama guru BK? " tanyaku tegas sambil memandang anak itu datar. Sang anak pun menggeleng cepat begitu mendengar kalau dia akan dihukum sama guru BK yang terkenal kejam di seantero sekolah. Wajarlah, toh guru BK-nya sendiri merupakan mantan jenderal yang kini menghabiskan masa tuanya dengan menjelma sebagai guru sekolahan. Memang sudah tua, tapi aku sarankan...

Jangan pernah menilai orang dari tampang dan umurnya

" Nah, makanya itu, kamu akan saya hukum " tuturku sambil mengetuk jari-jariku di atas meja.

" Paling hukumannya hormat bendera atau bersihin toilet kan? Ah, itu sih gampil! " ucap si anak remaja, memandang hukumannya hanya sekecil itu. Tapi dia belum kenal aku, dia tidak tahu seberapa kejamnya aku dibanding si guru BK. Bisa dibilang sih, setara.

" Oh gitu ya? Sayang sekali, saya mau bikin kamu pinter jadi... kerjain 5 soal ini " aku menyodorkannya 5 soal matematika jitu yang sengaja kusiapkan untuk anak-anak spesial macam anak di hadapanku ini. Anak itu melongo sekaligus memandangku tidak percaya.

" Seriusan cuma 5 soal??? Dikit banget elah "

Aku pun tersenyum samar. Sepertinya anak ini belum mengerti seberapa jitunya soal matematika ini.

" Saya ingin kamu mengerjakan ini di depan tiang bendera, dan waktu mengerjakannya dua jam. Kalau kamu ngga bisa ngerjain, saya tidak akan ngasih kamu nilai matematika di rapot " sahutku dan membuatnya mengangguk mantap. Aku heran, kenapa dia belum juga melihat soal-soal itu? Aku yakin dia tidak akan sepercaya diri sekarang.

" Dua jam 5 soal? Gampang! Saya ngerjain sekarang ya, Bu, permisiii " anak itu melesat secepat kilat meninggalkan kantor guru yang di dalamnya hanya ada aku dan miss Karina, guru bahasa Inggris.

" Dia buat ulah lagi? " tanya Karina sambil menghampiri mejaku. Aku mengangguk sambil tersenyum lebar. Untung kantor guru berhadapan dengan lapangan upacara, jadi aku bisa memantau anak itu dari sini.

" Ya begitulah " jawabku singkat, lalu mengambil sebuah notebook dari dalam tas.

" Kamu kasih dia hadiah apa? Kok sampe dia kegirangan gitu? " pertanyaan Karina sontak membuatku tidak bisa menahan tawa. Hadiah? Ya, guru-guru yang lain menyebut jenis hukumanku sebagai hadiah. Hadiah terindah dan termanis yang pernah ada.

" Soal olimpiade matematika SMA "

Miss Karina langsung melotot lebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Sudah kubilang itu soal matematika paling jitu dan handal. Aku yakin sampai botakpun anak itu tidak bisa mengerjakannya. Soal itu kususun secara essai dan harus pake cara. Dan yang terpenting, itu soal untuk anak SMA!

Padahal anak remaja tadi masih SMP

Hahaha, rasanya perutku benar-benar tergelitik!

" Emang boleh ya dikasih soal seberat itu? " tanya miss Karina dengan tatapan cemas. Hei, aku baru ingat kalau miss Karina ini adalah tipe guru yang nggak tegaan sama murid. Jadi, wajar dia cemas begitu.

" Boleh-boleh aja, selama aku yang jadi gurunya " timpalku sambil tersenyum tipis. Miss Karina pun berdecak menanggapi perkataanku itu.

" Oh iya, tadi pagi ada yang dateng ke sini. Katanya dia nitip ini buat kamu " tukas miss Karina seraya menaruh sebuah surat berwarna merah di atas mejaku. Aku yang sedang berkutat dengan notebookku langsung berhenti. Kuraih surat itu lalu menelitinya dengan serius. Dari siapa ya?

Waiting ForTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang