Twenty Six

251 34 12
                                    

Aku dan keluarga kecilku telah sampai di kediaman Niall. Kami segera turun dari mobil. Aku naik keatas teras rumah Niall dan mengetuknya.

Terdengar suara langkah kaki dari dalam. Tak lama setelah itu, seorang gadis berambut hitam muncul dari pintu.

Kalau aku tidak salah, itu adalah Emily. Istri dari Niall. Aku tidak ingat apakah Deandra atau Edward yang mengatakannya.

"Luke?" Ujar Emily, aku tersenyum. Emily menatap kami satu persatu, sampai ia menatap Ashley dan menutup mulutnya.

"Ashley! Kau kenapa?" Ujarnya lalu berjalan mendekati Ashley dan memeluknya.

Beberapa saat kemudian, seorang pria blonde yang sedang menggendong seorang bayi laki-laki berjalan keluar.

"Astaga! Kalian kenapa?" Ujar Niall. Ia menatap kami satu persatu.

"Ceritanya panjang" ujarku, raut wajah Niall menjadi khawatir, dan mempersilahkan kami masuk.

Niall langsung memanggil dua pelayannya dan menyuruh mereka untuk mengurus ketiga anakku yang terlihat sedang syok.

Sedangkan aku, Ashley, Niall, dan Emily duduk di ruang keluarga.

"Bisakah kalian bercerita apa yang terjadi sampai.. wajah Ashley lebam dan ketiga anak kalian yang syok? Aku perlu penjelasan disini." Ujar Niall. Aku menarik nafas panjang dan menceritakan semuanya, termasuk bagian dimana aku dan Ashley dari masa lalu.

"Jadi- kalian dari masa lalu?" Ujar Emily syok. Aku mengangguk.

"Aku dan Luke tidak tau banyak soal disini. Aku bahkan tidak tau siapa kau, Emily, sampai akhirnya aku bertemu kau disini." Ujar Ashley, Emily mengangguk mengerti, walaupun dengan ekspresi yang syok.

"Lebih baik kalian istirahat. Aku akan mengantar kalian ke kamar, yang terpisah." Ujar Emily lalu berdiri.

"Kenapa terpisah?" Celetukku, Niall malah tergelak.

"Kesempatan sekali kau, Hemmings. Kalian belum legal" aku mendengus.

"Tapikan aku dan Ashley sudah menjadi suami istri disini!" Ujarku tak mau kalah, tapi Niall tertawa lebih kencang.

"Baiklah terserah kalian jika kalian ingin tidur bersama. Tapi kalau Ashley hamil, aku tidak bertanggung jawab." Aku tertawa mendengar ucapan Niall.

Aku dan Ashley pun bangkit dari sofa dan menuju kamar yang ditujukkan Emily.

"Selamat malam" ujar Emily lalu menutup pintu kamar yang kami tempati.

Ashley tanpa aba-aba langsung terjatuh ke atas kasur, dan tidur disana. Sepertinya ia benar-benar lelah. Aku tersenyum dan tidur disebelah Ashley.

"Good night, i love you, Ashley" ujarku dan mematikan lampu.

***

Ashley's pov

Aku terbangun saat pancaran sinar matahari terkena mataku.

Sudah pagi, batinku.

Aku melihat kesebelahku dan mendapati Luke yang sedang terlelap.

Aku jadi ingat saat pertama kali aku terbangun dan melihat wajahnya disebelahku, dan aku berteriak.

Dan lihatlah sekarang, aku malah tersenyum saat melihat wajahnya yang damai saat tidur.

Aku bangkit dari ranjang yang aku dan Luke tempati, dan berjalan kearah cermin.

Aku melihat pantulan diriku dicermin. Mukaku penuh dengan luka lebam.

Tiba-tiba suatu pertanyaan mengganjal di pikiranku,

Apakah aku masih terlihat cantik?

Tentu saja tidak, Ashley bodoh.

Aku tidak tahu sejak kapan aku menjadi peduli dengan luka ataupun kecantikan di tubuhku ini. Tapi semua luka ini membuatku tidak nyaman.

Aku memutuskan untuk keluar dari kamar, mungkin aku akan mencari Emily atau Niall, atau seseorang yang dapat membuat luka lebam ini hilang.

Aku berjalan kearah dapur dan melihat Emily yang sedang memasak, aku memutuskan untuk membantunya.

"Selamat pagi, Emily" ujarku, Emily melihat kearahku dan tersenyum.

"Pagi juga, Ash" jawabnya. Aku pun menawarkan diri untuk membantu namun ia menolak dan berkata bahwa aku harus mengobati luka ku.

"Baiklah kalau begitu, tapi apa yang harus aku lakukan agar luka lebam ini hilang?" Emily mematikan kompornya dan berjalan menuju lemari es.

"Aku dengar es bisa membantu." Jawab Emily seraya memasukkan sebagian es kedalam sebuah kantung plastik dan memberikannya padaku.

"Terima kasih, Em" Aku pun berjalan ke sebuah sofa dan duduk disana.

Saat aku sedang mendinginkan luka lebamku, tiba-tiba Luke datang dan duduk disebelahku.

"Apakah itu untuk menyembuhkan lukamu?" suara seraknya terdengar, aku menghela nafas lalu mengangguk.

"Ya, aku benci memiliki banyak luka lebam diwajahku" Ujarku lalu menyenderkan kepalaku di bahu Luke.

"Apa karena itu sakit?" Aku menggeleng.

"Aku terlihat jelek. Entah sejak kapan aku peduli tentang ini, tapi aku tidak mau terlihat jelek." Luke yang tadinya bersender di kepala kursi, langsung duduk tegap, membuatku menegakkan kepalaku.

"Ashley, lihat aku" ujar Luke sembari duduk menghadapku, aku pun mengikuti perkataannya dan mengubah posisiku menjadi menghadap Luke.

"Kau tidak terlihat jelek sedikitpun, Ash" Ujarnya seraya merangkup wajahku dengan kedua tangannya.

"And please, never say that again." Ia pun melepaskan tangannya dari wajahku, "Let me help you with this." ucapnya sambil mengambil kantung es dari tanganku.

Luke memperhatikan setiap lebam di wajahku, dan dia meletakan es tersebut di keningku, "Is this hurt?" Tanyanya. Mata birunya bertemu dengan mataku. Matanya sangat indah, dan aku merasa melupakan semua rasa sakit dari luka lebamku.

"Uh- seharusnya. Tapi aku tidak tahu kenapa ini tidak terasa sakit lagi." Luke terkekeh dan mengganti letak kantung es ke pipiku.

" Luke terkekeh dan mengganti letak kantung es ke pipiku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Apakah sakit?" Aku menggeleng, ia tersenyum. Lalu Luke memindahkan kantung es tersebut ke bibirku yang terdapat luka. Aku meringis kesakitan, Luke reflek menarik kantung es tersebut dari wajahku.

"Maafkan aku," ujarnya, aku tersenyum dan mengangguk. "Kau mau tau bagaimana caranya agar membuat bibirmu tidak sakit lagi?" Tanyanya, aku menaikkan sebelah alisku.

"Bagaimana?"

"Begini" Luke memajukan wajahnnya ke wajahku dan mencium bibirku dengan lembut.

The FutureWhere stories live. Discover now