#31

676 42 0
                                    

***

Juni merebahkan tubuhnya diatas kasur. Menatap layar-layar langitnya yang berwarna jingga. Yang kemudian justru berubah menjadi wajah seorang Arjuna Arzhanka Rahmadian.

Wajah laki-laki itu sangat terbayang jelas dalam ingatan Juni.

Memori demi memori yang berhasil Juna ciptakan, kini berhasil membuat Juni selalu memikirkannya.

Juni selalu memikirnya hampir disetiap malam mulai menjelang.

Tawanya, senyumnya, begitu pun sikapnya.

Yang membuat Juni selalu merasa deg-degan tiap berada beberapa inci darinya.

Membawanya menuju ke sebuah perasaan yang tak dapat ia pungkiri. Tak dapat ditepis. Dan, perasaan itu kian hari, kian membesar. Seiring dengan berjalannya waktu.

Perasaan yang tidak dapat dijelaskan dengan logika dan akal sehat.

Tapi, dibalik segala perasaan hangat yang berkalut dalam dirinya. Terselip sebuah rasa benci yang mendalam.

Juni meringkuk. Ia menatap nanar langit-langit kamarnya. Rintikan airmata itu tak berhenti menghiasi pipinya.

Pipi yang biasanya memancarkan tawa dan canda. Juga, kekuatan yang mendasari seorang Juni dapat bertahan hidup sampai detik ini.

Ia benar-benar hancur. Tak ada lagi yang tersisa darinya kini.

Ia begitu membenci kehidupannya sendiri.

"Jun.."

Suara perempuan berhasil mengejutkannya. Betapa terkejutnya ia kala ia melihat sahabatnya ada di ambang pintu kamarnya.

Juni bangkit dari posisinya.

Menatap sahabatnya dengan perasaan penuh rasa bersalah.

"Ta, maafin gue..."

Belum sempat Juni menyelesaikan ucapannya, Cita menghamburkan dirinya untuk memeluk tubuhnya.

"Gue yang harusnya minta maaf. Gue gak tau kalo lo lebih punya banyak kenangan sama Juna. Sampe akhirnya, gue merebut semua kenangan itu dari hidup lo. Gue..."

"Ta, apaan sih yang lo omongin? Gue gak ada apa-apa sama Juna."

Cita terdiam sejenak.

"Gue gak sayang Juna, Ta," lanjut Juni lirih dengan suaranya yang nyaris parau.

"Coba lo bilang gitu sambil natap mata gue," tantang Cita pada Juni yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya.

"Gue emang baru kenal lo. Tapi, gue bahkan tau kapan lo berbohong dan jujur," Cita mengusap ujung kepala sahabatnya dengan penuh iba.

"Waktu di rumah sakit pun gue tau lo bohong. Karena lo ngomong gitu gak natap Juna atau pun gue. Gue tau lo bohong, Juni," lanjutnya.

"Ya terus gue harus apa? Gue sayang dia, terus gue harus jadian sama dia? Memperjuangkan perasaan gue sedangkan gue tau kalo sahabat gue juga punya perasaan yang sama? Gue udah kehilangan keluarga, gue gak mau kehilangan sahabat juga," jelas Juni panjang lebar dengan suaranya yang kini benar-benar parau.

"Gue bisa apa, Ta? Gue bahkan rela kehilangan cinta asalkan gue gak kehilangan lo sebagai sahabat gue. Karena Cuma kalian, sahabat-sahabat yang gue anggep sodara, yang gue punya sekarang. Gue gak punya siapa-siapa lagi, Ta. Gue rela kehilangan cinta yang lain, asal gak kehilangan kalian."

Seperti biasa, tangis Juni lepas.

Cita memeluk gadis itu erat berusaha untuk menenangkannya.

"Bahkan ketika gue bilang suka sama Juna itu, gue bercanda. Gue gak bener-bener suka, Jun. Gue Cuma mau ngetes lo doang."

Juni masih tak bergeming dalam pelukkan sahabatnya itu.

"Jun, ada yang mau ketemu."



Juna-JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang