#14

760 55 3
                                    

***

DING

LINE

AR: Mama mau ketemu, Jun.

Niat hati ingin jauh, tapi takdir harus selalu berkata untuk lebih dekat. Kadang keinginan hati dan takdir memang tidak pernah sejalan.

Ada yang berusaha untuk melupakan, tapi selalu teringat. Ada yang berusaha untuk menjauh, tapi selalu bertemu. Dan, ada yang diam-diam ingin membuang perasaannya, tapi justru semakin besar.

*

Dengan mengenakan dress putih dan rambutnya yang ia biarkan terurai, Juni melenggang masuk ke dalam rumah itu dengan anggunnya.

Bersamaan dengan Juna yang berjalan beriringan dengannya.

Mereka nampak seperti pasangan yang serasi.

"Juni.." sapa perempuan paruh baya itu seraya memeluk gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.

Juni membalas pelukkan hangat perempuan itu.

"Kamu cantik sekali."

"Tante bisa aja."

"Ma, Juna gak dibilang cantik juga?"

"Is, kamu ini Juna."

Juni terkekeh kecil melihat candaan diantara mereka.

Ketiganya berjalan menuju tempat makan yang sudah siap dengan makanannya untuk disantap.

"Juni, lo harus cobain ini buatan Mama. Endeuss bambang gurindang!" ujar Juna penuh antusias.

Juni hanya mengangguk kecil.

"Ah, Juna ini bisa aja. Biasa aja kok Juni rasanya."

"Tapi, pasti rasanya lebih enak dari yang biasa orang lain buat 'kan, Tante," balas Juni santun.

Suasana makan malam mereka dipenuhi dengan selingan canda dan tawa. Tidak jarang juga sang Arjuna membuat suasana menjadi lebih hidup.

Dengan berlatarkan musik alunan tempo dulu, mereka bak seperti sedang berada di beberapa tahun silam.

Semuanya tampak bahagia dan indah. Sebelum, kejadian mengerikan itu menimpa Juni dan membuat psikolognya berantakan.

...Gelas-gelas kaca.

Tunjukkan padaku siapa diriku ini

Ayah tak punya, Ibu pun aku tiada.

Siapa pun aku tak punya.

Hanya airmata yang selalu bercerita kepadaku...

"Tante masih suka dengerin lagu jaman dulu, ya?" tanya Juni sambil meletakkan sendok diatas piringnya dengan rapi dan menyeka mulutnya.

"Iya, Juni. Apalagi kalo Tante lagi kangen Mama kamu. Tante selalu inget kalo Mama kamu suka banget sama lagu ini."

Tiba-tiba, suasana menjadi sendu. Tak terdengar lagi suara canda dan tawa yang tadinya menggelegar.

Kini, mulai muncul suara isak tangis yang begitu lirih dan berusaha untuk disembunyikan.

"Juni juga kangen Mama," ujar Juni lirih, berusaha untuk menahan buliran airmata yang nyaris turun.

Perempuan paruh baya itu menyeka airmatanya dan menggenggam tangan anak gadis itu dengan penuh kasih sayang.

"Tante memang gak bisa gantiin posisi Mama Juni. Tapi, Tante bisa menjadi seorang Mama kalo Juni mau."

"Juni gapapa, Tante. Udah makin biasa sama keadaannya kok sekarang," balas Juni berusaha meyakinkan.

"Lagian namanya juga takdir, gak ada yang bisa nebak," lanjut Juni menguatkan.

Juna bangkit dari duduknya. Dan, berjalan dengan penuh putus asa menuju jendela rumahnya.

Ditatapnya langit malam dengan tatapan penuh penyesalan.

Tangannya mengepal. Ia meninju kaca jendelanya hingga retak.

Darah-darah segar mulai mengalir dari tangannya.

Juni dan Mama Juna menoleh takut. Juni sangat hafal dengan sikap Juna yang satu ini. Ia memberanikan diri untuk mendekat ke arah Juna dan menepuk pundaknya pelan.

"Gue minta maaf, Jun. Untuk semua yang udah gue lakuin. Gue salah. Gue bener-bener minta maaf. Gue gak pernah bermaksud buat bikin lo sedih dan jadi hancur kayak gini."

"Juna..."

"Semua gak akan terjadi, Jun. Lo gak akan kehilangan kakak dan orang tua lo hari itu. Kalo aja gue gak..."

"Juna! udah."

Juni memeluk tubuh laki-laki itu. Diantara perasaannya yang berguncang semakin hebat, ia juga berusaha untuk menenangkan laki-laki itu yang sama berguncangnya dengan dirinya.

Juna menangis.

Menyesali kejadian dimalam na'as itu terjadi. Yang telah merenggut kebahagiaan Juni dan membuat gadis itu begitu membenci dirinya.

Tapi, disatu sisi. Ia tersenyum bahagia.

Karena setidaknya, Juni masih perduli dengannya. Walau hanya sedikit.


Juna-JuniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang