"Pulang sekolah jadi kan?" tanya Maurer pelan.
Lynn yang saat itu sedang beradu pandang dengan Maurer langsung mengangguk dengan senyum manis di bibirnya. Daryl dan Bryan menatap keduanya menyelidik. Perubahan sikap Lynn yang relatif singkat pada Maurer membuat mereka berdua bertanya-tanya. Dukun mana yang didatangi oleh Maurer kemarin?
◆◇◆◇◆◇
"Halo," Lynn menjawab telepon dari ponselnya. Awalnya ragu karena telepon itu dari seseorang yang saat ini sedang tidak ingin dilihatnya.
"Ke Rumah sekarang. Ada yang ingin Papa bicarakan padamu!" perintah seseorang dari seberang sana.
"Papa? Apakah anda tidak salah orang?" tanya Lynn datar.
Tidak ada balasan dari seberang sana. Lynn diam. Menunggu respon dari Pria yang mengaku sebagai Ayahnya.
"Cepat datang dan jangan banyak bicara!"
Klik. Lynn melihat layar ponsel yang menampakan tulisan telepon telah diakhiri. Tidak berubah! Masih sama seperti dulu.
"Hai, sorry lama nunggu," Maurer menepuk bahu Lynn pelan.
Lynn yang tadinya bersandar pada mobil mewah milik Maurer berjingkat kaget. Gadis itu penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Ayah kandungnya itu.
"Sorry, kayaknya kita batal jalan. Bokap suruh gue ke Rumah."
"Rumah bokap lo? Gue dengar, lo udah nggak berhubungan dengan keluarga lo lagi," ucap Maurer tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
Lynn mengangguk membenarkan, "bokap mau ngomong sama gue, dan gue penasaran."
"Gue antar."
"Nggak usah. Gue ke sana sendiri aja," tolak Lynn.
"Bukan penawaran. Lo harus gue antar. Gue tunggu sampai lo selesai ngomong sama Bokap lo!" tandas Maurer tanpa bisa dibantah.
"Jangan! Lo mending pulang! Bokap gue pasti nanya-nanyain lo juga."
"Terus?" tanya Maurer tak perduli, "gue mau jagain lo! Di rumah pasti ada lampir Yura kan? Gue nggak bakal biarin Bokap lo mukulin lo lagi Lynn... lo nggak layak dapat pukulan dari siapapun!"
"Tapi Rer... Gu--"
"Please, biarin gue jagain lo!" Maurer menangkup wajah Lynn. Diusapnya pipi kanan Lynn dengan ibu jarinya.
Di bawah tatapan Maurer, Lynn mengangguk. Meski ragu, entah kenapa gadis itu tidak bisa menolak perhatiannya. Ada sesuatu dalam diri Maurer yang mampu membuat dirinya percaya jika Maurer tidak akan menyakitinya.
Lynn duduk di bangku penumpang samping Maurer. Tidak sulit bagi Maurer untuk menemukan alamat yang dikatakan oleh gadis di sampingnya, meski Lynn sama sekali tidak memberikan petunjuk.
Pintu pagar otomatis terbuka setelah Maurer menekan klakson. Maurer memarkirkan mobilnya di dekat taman mini yang terdapat sebuah ayunan. Lynn turun dan menutup pintu mobil diikuti oleh Maurer.
Kedua mata Lynn terpaku pada sosok Pria paruh baya yang sedang menyiram tanaman. Bunga-bunga di sana terlihat cantik. Mawar yang beraneka warna tumbuh dengan indah. Taman mini yang sangat disukai dan dirawat oleh Ibunya ketika masih hidup. Lynn tidak percaya jika taman itu masih ada.
"Siapa dia?" tanya Pria paruh baya itu setelah menaruh selang dan mematikan kran air.
"Anda yang merawat bunga-bunga itu sendiri?" tanya Lynn tanpa menjawab pertanyaannya.
"Papa. Bukan Anda!" sentak Justin.
Lynn mendengus, "Apa yang ingin anda bicarakan Bapak Justin yang terhormat?" tanya Lynn. Sengaja menekankan kalimatnya untuk memancing emosi Ayahnya.
"Masuklah. Kau membawa seorang tamu," kata Justin saat memperhatikan wajah Maurer dari atas sampai bawah.
Lynn menurut. Ditariknya lengan Maurer agar dia mengikuti langkahnya. Mereka berdua duduk di sofa ruang tamu berhadapan dengan Justin yang sedang menyeruput kopi hitam kesukaannya.
"Jadi kamu adalah pacar Lynn?" tanya Justin saat melayangkan tatapan tajam pada cowok yang dengan satainya duduk sambil memeluk pinggang anak gadisnya.
"Iya Om," jawab Maurer sopan.
Lynn memelototi Maurer. Seakan lupa jika Pria yang menatapnya garang adalah Ayah kandung Lynn, Maurer dengan seenaknya mencubit hidung Lynn gemas dan mengerling nakal. Deheman Justin mengembalikan kesadaran Lynn, cepat-cepat didorongnya tubuh Maurer agar menjauh darinya. Bukannya menjauh, Maurer malah menarik lengannya dan menjadikan jarak mereka semakin dekat.
"Kamu anak ingusan," panggil Justin. Maurer menatap Justin jenaka sambil menunjuk dirinya sendiri menggunakan telunjuknya, "saya Om?"
"Iya kamu! Siapa lagi?!" kesal Justin.
"Kenalin. Saya Maurer Om," dijulurkan tangan kanannya ke depan.
Justin menatap Maurer tajam saat membalas uluran tangannya, "kamu anak yang menggendong Lynn di Ruang BK itu bukan?"
Maurer mengangguk membenarkan. Justin makin tajam menatap Maurer yang juga kini tengah balas menatapnya tepat di manik mata.
"Apa yang bisa kamu berikan padanya? Belum bekerja tapi berani memacari anak saya?!"
"Cinta Om. Untuk saat ini saya punya rasa cinta yang tulus. Saya menemani Lynn saat dia sedih dan tertawa bersamanya ketika dia senang. Berbagi hal sederhana yang hanya saya dan dia yang merasakan kehangatan," kata Maurer dengan wajah yang serius. Rasa hangat menyelimuti tubuh Lynn, dia tahu jika Maurer mengatakannya dengan tulus.
"Hanya cinta?" Justin tampak menghakimi meski dirinya salut saat bocah ingusan itu dapat mengatakan kalimat yang tidak semua orang bisa ucapkan. Cinta yang sederhana.
"Setelah lulus kuliah saya pasti bekerja. Kalau Om merestui nih... saya langsung nikahin anak Om saat saya dapat gaji pertama!" ujarnya. Lynn langsung memelototi Maurer dan mencubit perutnya keki.
"Sudahlah. Tidak perlu dibahas! Kenapa Lynn dipanggil ke Rumah?" tanya Lynn berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Pulanglah. Sudah waktunya kamu pulang," Justin memandang Lynn lurus.
"Tidak. Terima kasih!" tolak Lynn mentah-mentah.
"Papa ingin kamu pulang. Sudah waktunya kamu belajar sebagai penerus bisnis keluarga."
"Penerus? Lynn?" Lynn menunjuk dirinya sendiri bingung.
Justin mengangguk, "Iya."
"Apakah anda tidak salah orang? Yang ada di depan anda adalah Lynn! Bukan Yura!" sinis Lynn.
"Iya, Papa belum lupa ingatan!" sahut Justin santai.
Lynn menatap Ayahnya tanpa bisa berkata-kata. Menjadi penerus bisnis keluarga? Apakah Ayahnya mabuk? Dirinya selalu tak dianggap! Tak dipercaya! Haruskah dia menerima begitu saya? Bukankah Justin sangat membenci dirinya?
"Papa ingin kamu yang belajar dan mempersiapkan diri untuk meneruskan bisnis keluarga. Bukan Yura," Justin kembali menyeruput kopinya.
"TIDAK!" teriak seseorang dari balik tembok.
Yura memandang Lynn dan Justin dengan kemarahan yang siap meledak kapan saja. Disebelahnya ada Verla, Ibu kandung Yura yang menatap Lynn dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.
Ruangan menjadi hening. Hanya terdengar langkah kaki Yura yang menghentak menghampiri mereka.
◆◇◆◇◆◇
Kok Daryl sumo-sumoan sama Kyra ya? Mau tahu sumo apa? Besok saya update! Jangan lewatkan ya...
Cieee saya ngiklan.
Byee
Salam lope-lope
Melinda
YOU ARE READING
I'm Not A Troublemaker #1
General FictionTiga cewek cantik, jago berantem berada di satu kelas yang sama dengan geng cowok yang mengganggu hidup mereka. Lynn, Kyra, dan Rhea harus menghadapi kelakuan Maurer, Daryl, dan Bryan yang absurd. Kyra dan Rhea yang moody, mudah emosi, mudah bt tent...
PART 21
Start from the beginning
