Gadis ini mengatur deru nafasnya sambil memejamkan matanya. Ia merasa benar-benar penat, padahal hanya berlari seperti itu.

"Fan, bangun. Lo selamat kok." ucap Vania sambil berjongkok dan mengulurkan tangannya ke arah Fanny.

Fanny membuka matanya perlahan dan tersenyum tipis ketika mendapatkan wajah Vania yang mengulurkan tangan ke arahnya. Gadis ini menyambut uluran tangan itu dan bergerak bangkit. "Makasih Van."

Vania melepaskan uluran tangannya dan menggedikkan bahunya. Fanny menghembuskan nafasnya kasar dan mengedarkan pandangan ke sekeliling, gadis ini mendapati Jessie yang menangis tersedu-sedu di bahu Nesya.

"Jessie kenapa?" tanya Fanny melirik Vania.

Vania memasang raut wajah iba. "Jasad Adhan hilang." lirih Vania.

Fanny menoleh dan membulatkan kedua matanya. "Hi--hilang?" seru Fanny terbata-bata yang hanya diangguki Vania.

Fanny bergerak mendekati Jessie dan mengelus bahu Jessie perlahan. "Gimana bisa terjadi Jes?"

Jessie menutup mulut serta memejamkan matanya. "Di--dia hilang tiba-tiba...be--berubah jadi angin dan melayang." jawab Jessie dan mulai terisak lagi. Fanny bergerak memeluknya menggantikan Nesya.

Daffa memijat pelipisnya. "Please, berhenti main drama. Kita lagi dalam darurat, dan ga punya banyak waktu buat drama kaya gini." ketus Daffa.

"Daffa! Jangan ngomong kaya gitu, gimana kalau lo di posisi dia? Ini juga gara-gara lo 'kan?" seru Fanny memelototi Daffa.

Daffa mendecih. "Jadi lo nyalahin gue, sekarang?"

"Kalau iya, kenapa?!"

"Stop this bullshit drama!" pekik Nesya menatap Fanny, Daffa dan Jessie yang terisak bergantian.

Daffa mendengus dan memutar bola matanya, pria ini memilih bersender di dinding dan menyerahkan urusan ini ke Nesya atau Eza bahkan Vania, yang jago banget dalam adu mulut.

Nesya berjongkok mendekati Jessie. "Jes, gue tau lo sedih. Kita juga sedih. Tapi apa gunanya sedih? Mengembalikan Adhan atau Chika? Apa sedih bisa mengeluarkan kita dari rumah ini? Ngga." tutur Nesya dengan suara lantang yang menghentikan isak tangis Jessie. "Gue ga bisa ngomong lembut tapi, stop that bullshit cry. 'Cause cry, do nothing. Understand pretty girl?"

Jessie mengangguk. "Thanks, Nesy. I promise that I will never cry again."

Nesya berdiri dan menggedikkan bahunya. "Save that bullshit promise, 'Cause I'll never believe that."

Jessie tertawa pelan dan mengangguk-angguk, membuat Fanny ikut tersenyum.

"So, what we will do next?" tanya Revan memecah keheningan, sambil menengadahkan kedua tangannya.

"First, where is Mocchi?" tanya Vania balik menyahuti pertanyaan Revan.

Para remaja ini melirik Jessie. Gadis itu masih sesegukan karena tangis yang berkepanjangan. Jessie menghela nafasnya sebelum membuka suara. "Tadi, waktu Adhan menghilang. Mocchi langsung pergi. Dan dia sama sekali ga bilang apa-apa waktu pergi." jawab Jessie seadanya.

Daffa menghembuskan nafasnya kasar dan mengacak-acak rambutnya geram. "Terus sekarang apa? Kenapa juga itu hantu mesti ngilang sih?" rutuk Daffa kesal.

"Yaudah lah, kita juga ga harus bergantung sama dia 'kan? Kita juga dari awal cuma bersembilan, yaudah kita jalanin aja sendiri. Ga usah bergantung sama dia." tutur Vania sambil menggedikkan bahunya.

"Yaudah langsung aja, kalian dapet buku apa aja?" tanya Fanny mengedarkan pandangannya memandang teman-temannya yang kini sudah duduk melingkar.

"Gue dapet buku All About Riddle House." ucap Nesya mengeluarkan buku dengan panjang yang kira-kira setengah lengan dan dengan ketebalan yang tidak seberapa. Buku itu bersampul kulit berwarna cokelat dan terdapat sebuah pengait yang mengunci buku itu.

Riddle House [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang