Bab VII

2.1K 122 1
                                    

| the next day |

"Panggilan kepada Driana, Alex, Alya, Verdixi, dan Nowella anggota klub basket, ditunggu di ruangan klub oleh pelatih," Sebuah suara khas tim broadcasting terdengar nyaring hingga ke sudut ruangan.

Alya mengernyitkan dahinya, "Eh, kita dipanggil pelatih tuh. Tapi aku antusias, kira-kira apa yang akan dikatakan pelatih, ya?" tanyanya.

"Ya ampun, jangan kesenangan dulu deh, Alya," tukas Nowella, tidak menjawab pertanyaan Alya.

"Kok kamu gitu? Biasanya kamu paling semangat, kenapa sekarang jadi begini?" Verdixi berseru, ia memandang Nowella dengan pandangan yang penasaran.

Nowella menggelengkan kepalanya, "Bukanya apa-apa, tapi aku takut tidak dapat izin,"

"Apapun yg terjadi kita harus terima," Alex berkata sembari menaikkan nada bicaranya.

"Iya betul!" ujar Diana, mengiyakan.

"Mari kita kesana, jangan sampai membuat pelatih menunggu," ajak Alex dengan cepat.

Kelimanya mengangguk-angguk dan menelusuri koridor kelas untuk sampai ke ruangan klub basket. Dalam perjalanan mereka terlihat gugup, gelisah, penasaran, serta bercampur dengan perasaan senang.

▶▶

Driana mengetuk pintu ruangan klub, "Permisi, kami masuk."

"Yeah, anak muridku!" Pelatih dengan semangat bertepuk tangan. Lalu secara tiba-tiba mimik wajahnya berubah drastis. Kelimanya yang semula merasa sedikit lega, kembali memasang wajah gugup.

Mereka lekas masuk dan berdiri, pelatih menatap mereka keheranan. Hari ini adalah penentuan, penentuan masa depan yang cerah atau masa depan yang justru kelam.

"Kok kalian berdiri saja?" tanya pelatih.

Kelimanya saling menatap, "Ada apa, Pak?" tanya Alex memastikan.

"Maksud Bapak, duduk. Masa kalian berdiri? Kurang enak dilihatnya," pinta pelatih.

"Oh! Bilang dong, Pak, hehe maap."

Selagi menunggu pelatih kembali berbicara, mereka menatap pelatihnya dengan serius. Sebab pelatih mereka tengah memandangi daftar puluhan klub dalam data yang dipegangnya.

"Kalian sudah yakin, kan?" tanya pelatih untuk memastikan dan meyakinkan mereka akan keputusan yang sulit dan menegangkan ini.

"Pasti, Pak!"

Pelatih memijat pelipisnya, "Bapak rasa, kalau begitu tidak bisa,"

Kelimanya menunduk. Sedikit rasa kecewa, namun mereka memilih untuk tetap tersenyum. Begitu kelimanya hendak bangkit, pelatih kembali melanjutkan kalimatnya.

"Maksud Bapak, tidak bisa ditolak. Skill kalian bagus sekali!" Pelatih berseru sembari terkekeh kecil.

"Hampir saja kita percaya," ungkap Verdixi, dirinya ikut tertawa.

Pelatih melipat kedua tangannya, "Namun ada 5 orang yang juga meminta Bapak untuk mengizinkan mereka seperti kalian,"

Alya sedikit terkejut, "Sungguh?!"

"Iya, namun ada yang harus kalian ketahui, hanya satu klub saja yang akan Bapak izinkan," ujar pelatih.

Alex semakin penasaran, "Klub apa, Pak?" tanyanya

"Kalau tidak salah, Ornel," jawab pelatih sembari berpikir keras.

"Lalu bagaimana, Pak?" tanya Driana meminta kepastian.

"Bapak akan mempertandingkan kalian," jawab pelatih, lagi.

"Mana mungkin kita bisa, Pak. Mereka sangat luar biasa. Terlebih mereka adalah anak-anak kepala sekolah yang ikut klub Ornel, anggotanya masuk klub yang sangat terkenal itu," ujar Alya frustasi.

"Tenang-tenang kalian tidak akan bertanding sekarang. Bapak akan memanggil klub mereka untuk datang ke bapak sore ini," Pelatih menenangkan.

"Lalu, kita engga, ya?" tanya Alex.

"Pasti kalian juga. Lagipula ini kan informasi," balas pelatih.

"Oke deh! Informasi kami terima, sebelumnya, jam berapa, Pak?" Tanya mereka lagi.

"Hmm, sebentar," pelatih tengah memikirkan waktunya.

Pelatih menelpon klub lainya yang konon tidak asing disapa sebagai klub Ornel yang telah mengalahkan klub-klub kecil lainnya di negara ini.

"Hei kalian, saya panggil nanti sore jam tiga untuk datang ke gym!" tegas pelatih kepada klub ornel lewat sambungan telepon yang sudah sangat canggih belakangan ini, "Baiklah saya tutup telponya!" lanjut pelatih.

▶▶

"Mereka akan datang jam 3," tutur pelatih mengingatkan.

"Baiklah kami kesana, tapi dimana, Pak?" tanya Verdixi.

"Di gym sport school."

Mereka mengangguk-angguk, "Oke, kami kembali ke kelas dulu, Pak! Sudah bel, kita takut kena marah," ujar Nowella.

"Tidak akan, kok, Bapak sudah minta izin kewali kelas kalian,"

"Terimakasih!" seru kelimanya.

[]

tbc.

The Basket Girl  ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang