Mereka berpamitan, tapi tidak untuk pulang. Hingga tengah malam, Imel tak kunjung pulang kerumah juga. Aku tidak bisa tidur. Entah kenapa, mataku terus melirik jam dinding di kamarku.
Sudah jam 12:45 dan Imel tak kunjung pulang juga.

Harusnya aku tidak perduli.
Tapi aku perduli.

Aku sedikit khawatir. Hanya sedikit. Okey, aku rasa aku patut untuk khawatir. Pertama, dia menyandang status istriku saat ini. Kedua, dia tinggal dirumahku sudah pasti menjadi tanggung jawabku, dan ketiga, aku sudah berjanji pada Mamanya untuk menjaganya.

Oh, gadis ini. Apa dia merasa terkejut setelah keluar dari rumah dan kekangan Papanya? Seperti anak kucing yang lepas dari kandang, hingga tak ingat pulang?

Aku terduduk dengan kesal di tepi ranjangku. Aku keluar dari kamarku menuruni anak tangga berjalan kedapur untuk meminum seteguk air dingin, setidaknya untuk mendingin darahku yang mendidih.

Lalu aku tersentak mendengar pintu rumah, seperti ada yang mendobraknya, dan aku yakin siapa yang telah melakukannya.

Dengan keras aku meletakkan gelasku keatas nakas yang beralaskan keramik, lalu berjalan ke pintu rumah. Dengan emosi memuncak dibenakku, aku menyiapkan prakata yang akan aku semprot pada orang yang berada dibalik pintu ini. Aku membuka lebar pintu.

Dan, oh astaga. Aku mendapati wajah mengenaskan seorang Imelda, untuk pertama kalinya. Wajahnya penuh bulir airmata, bahkan matanya sudah bengkak dan memerah.

Semua kosa kata yang aku persiapkan tadinya hilang mendadak, saat kurasakan dia menubruk tubuhku dan mendekapku erat. Dia menangis sejadi-jadinya. Tentu saja aku mendadak tegang dengan serangan ini, aku kaget dan mengeram. Berani-beraninya dia.

"Kau boleh marah, boleh memaki ku. Tapi bisakah kau simpan? Jika ingin memarahiku nanti saja atau besok. Aku hanya ingin menangis sekarang!"

Suaranya yang parau namun aku masih bisa jelas mendengarnya, membuat tubuhku terkesiap dan mengurungkan niatku. Sebenarnya aku ingin menanyakan, hasil karya siapa yang menyebabkan dia berakhir mengenaskan seperti ini. Tapi, tidak. Dia sekarang hanya butuh sandaran, tempat untuk menuntaskan tangisannya.

Aku memilih untuk membalas pelukannya dan mengusap lembut rambutnya. Mengabaikan buliran airmatanya yang membasahi bajuku tepat didepan dadaku. Aku mendengar nafas teratur darinya,aku rasa dia mulai terlelap. Lalu dengan langkah berlahan aku menutup pintu rumah dan menuntunnya untuk masuk kekamarnya.

Anggap saja aku sedang baik, dan hatiku tengah dipenuhi malaikat dari Surgawi, hingga aku bisa memperlakukan dia selembut ini.

"Bisakah kau disini untuk malam ini saja?"

Suaranya menghentikan langkahku saat aku hendak keluar dari kamarnya. Aku berbalik menatapnya dalam diam. Melihat wajah sendunya. Untuk kesekian kalinya, aku memilih untuk mengikuti permintaannya. Oh, aku sungguh benar-benar penasaran. Siapa yang membuat Imel seperti ini?

Sky ?Apa mungkin ?

Entah malaikat apa yang merasukiku saat ini? Mungkin saja malaikat Iba. Apa ada ? Hah--mungkin sajakan?

Menjelang subuh, aku terbangun. Aku tertidur dengan posisi tubuh duduk dilantai dan kepalaku aku letakkan ditempat tidur berhadapan tepat didepan wajah milik gadis menyebalkan itu. Aku memandangnya dekat, sangat dekat. Wajah polosnya, sekilas Aku tersenyum mengelus kepalanya.

Namun lampu peringatan muncul di kepalaku.

Kissanda

Langsung saja Aku beranjak dari posisiku dan kembali kekamar ku. Nihil, aku tidak bisa kembali mengunjungi alam bawah sadarku. Aku memilih untuk berenang saja, dengan memakai boxer tanpa memakai baju aku keluar menuju kolam renang. Sudah jam 6, tidak terlalu dingin.

"Skypaper"Donde viven las historias. Descúbrelo ahora