#5 To Recover Pain of Heart is only Another Love

Start from the beginning
                                    

Rebecca diam dan terus menatap gadis gelisah dengan tatapan lurusnya yang berani dan sungguh-sungguh. Membayangkan Abby sebagai Sarah, sangat mustahil. Abby terlalu keras kepala dan introvert. Agak terlalu serius seperti jarang bersenang-senang. Jika Sarah masih hidup dan seusia Abby, ia akan tumbuh kurang lebih mirip Trev. Ramah, baik hati, cerdas dan penuh semangat. Ciri-ciri anak yang tumbuh ditengah kasih sayang juga kompetisi. Tapi Ia mencintai Abby, ia menerima apapun kondisi anak itu. Dan bertekad membuatnya bahagia.

"Tidak boleh ada rahasia rasa sakit lagi. Setiap kali kau kesakitan, kau harus memberitahu kami. Seingatku kita akan menghubungi terapis sebelum kau mulai menari lagi. Jadi itu yang akan kita lakukan, kami tidak akan menghentikan dirimu dari menari. Dan kau tidak boleh tertutup lagi. Carilah teman Abby, bersenang-senanglah. Bisakah kau lakukan itu?" Rebecca berdiri dan menghampiri Abby dengan sorot mata tajam yang jarang ia lakukan.

"Uh... aku tidak tahu cara mencari teman dan bersenang-senang tapi... aku rasa aku bisa mulai melakukannya. Aku... janji bibi." Abby mengngguk dengan sedikit ragu. Tapi tatapan teguh bibinya meyakinkan dirinya.

Rebecca pun memeluk Abby erat dan berbisik, "lakukan dengan perlahan, selangkah demi selangkah. Kami akan ada ditiap langkahmu."

Abby balas memeluk Rebecca dengan air mata mengambang panas dipelupuk matanya. "Terima kasih bibi..." Rebecca mempererat pelukannya.

"Nah ayo kita turun untuk sarapan sebelum kita ke RS." Alan sudah berdiri disamping mereka dan merangkul mereka di masing-masing lengannya. "Senang rasanya memiliki 2 perempuan cantik di kedua sisiku. Aku pria yang bahagia, kalian tahu?."

Mereka tertawa mendengar pujian Alan.

Saat mereka turun menuju ruang tamu, Abby memberitahu mereka kalau ia punya tamu di bawah. Alan memaksa ingin berkenalan.

"Ange!?," Abby kaget melihat Ange disana ditemani oleh Trev. Tapi kenapa Ange terlihat tegang?.

Ange langsun bangkit dan memeluk Abby. "Aku kemarin mengirimimu sms terus Trev meneleponku untuk mengabari kondisimu. Tadi pagi aku menelepon ponselmu, tapi mati. Aku cemas kondisimu memburuk atau apa gitu. Sekarang kondisimu baik-baik saja?," Ange memegang bahu Abby, menatapnya cemas.

"Aku tidak apa-apa, terima kasih sudah mencemaskanku..."

"Beraninya kau berterima kasih atas kecemasanku!," omel Ange. "Memangnya aku ini kurang kerjaan mencemaskanmu? Tawaran koreografi itu bukan untuk membuatmu jadi sakit begini tahu. Aku akan bilang teman-teman kalau kau tidak menerima tawaran itu."

"Ange aku kan belum memutuskan ..."

"Kejuaraan itu tidak sebanding dengan keselamatanmu Abby." Suara Ange berubah lembut diliputi rasa cemas yang membujuk. "Kami akan mencari koreografer lain ... cara lain ... pasti bisa," Ange berusaha menghibur Abby.

Abby terharu dan memeluk Ange spontan. "Maaf ya membuatmu cemas. Aku benar-benar sudah tidak apa-apa kok, sekarang kami mau ke RS untuk menemui dokter dan terapis. Bersama Paman dan bibiku ... astaga, lupa. Kenalkan Paman dan bibiku." Abby terlonjak kaget ingat sesuatu. Ia melepas dekapan eratnya dan memperkenalkan Ange pada paman dan bibinya yang berdiri penasaran disana.

"Paman bibi, ini Angeline Boas teman baruku dari fakultas hukum di NYU. Ange ini Pamanku Alan Ascott dan Rebecca Ascott."

"Senang berkenalan dengan anda Mr. dan Mrs. Ascott. Maaf pagi-pagi sudah bertamu seperti ini...." Ange mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan sopan dan hormat.

"Teman-teman Abby adalah bagian dari keluarga. Jika kau tidak keberatan, mari sarapan bersama kami," undang Rebecca dengan tatapan lembut tapi penuh selidik. Ia bisa melihat putranya menegang disana karena gadis muda berambut merah yang menarik ini.

"Mohon terima permintaan maaf saya Mrs. Ascott, saya harus masuk kuliah jam 10 pagi ini. Jadi saya harus segera ke kampus sekarang." Ange menolak sopan dengan senyum tipis.

"Kami juga tidak akan berlama-lama sarapan karena harus ke RS. Setelah sarapan Trev akan mengantarmu." Alan pun mengeluarkan suara. Nadanya tegas. Itu bukan permintaan tapi perintah.

"Kalau aku menolak lagi, pasti sikapku akan sangat kasar, bukan begitu Mr. Ascott?" Ange bertanya berani. Tatapannya membalas sorot tegas Alan.

Alan bukannya marah atau kesal malah menyeringai. Ia mendekati Ange dan mendekati Ange untuk melihat lebih dekat. "Gadis pemberani, aku suka itu." Alan tersenyum lebar, mata biru ungunya berbinar senang. Lalu mengangsurkan lengannya agar Ange berjalan bersamanya. Ange ragu dan kaget mendapati tanggapan seperti itu dari Alan. Ia menatap Rebecca meminta persetujuan.

Rebecca membalas tatapan Ange dengan senyum lembut dan anggukan yang tidak kentara.

Ange menyerah dan meletakkan jemarinya di lengan Alan segan. Tapi Alan menepuk jemari Ange hangat. Mereka berjalan ke arah ruang makan yang Lagi-lagi pemandangannya ke arah lepas laut. Berada di ruangan yang tanpa jendela hanya dinding berongga lengkung tinggi di sekeliling ruangan. Tirai-tirai putih tipis menghias dan diikat di pinggir-pinggirannya.

Ange duduk dibantu Trev yang sudah ada di belakang kursinya. Cowok itu nampak sangat serius dan tidak banyak bicara. Ange bergumam terima kasih. Meja itu cukup berisi 8 orang. Trev duduk disamping Ange, Abby dan Rebecca di seberang mereka, dan Alan di kepala meja.

Sarapan itu menunya sederhana tapi sangat enak. Alan bertanya santai soal asal Ange dan pekerjaan orangtuanya. Juga soal mengapa Ange memilih NYU.

"Karena dengan melalui beasiswa renangku, NYU mentetujui aplikasinya. Aku kebetulan punya Kakek yang tinggal disini, jadi sekalian saja aku pikir." Ange menjelaskan.

"Renang?, wow, kejuaraan apa saja yang kau sumbangkan untuk kampus?" Rebecca nampak tertarik.

"Prestasiku di kampus kurang gemilang Mrs Ascott. 2 tahun lalu aku mengalami kecelakaan. Aku tidak bisa berenang seperti dulu lagi." Ange tersenyum tipis, ada kilat sedih disana.

"Sayang sekali. Jadi pengalaman itu yang membuatmu mengerti soal kondisi Abby kami?." Rebecca mengamati bagaimana Trev memperhatikan Ange dengan tatapan intens yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Bahkan pada si Patricia penghianat itu.

Ange mengangguk "Rasa sakit bertentangan dengan rindu untuk kembali melakukan apa yang paling ahli kulakukan? Aku sangat mengerti saat-saat itu." Ange menatap Abby penuh pengertian. "Seperti sesuatu yang paling berharga direnggut darimu tiba-tiba. Ada di depanmu tapi tidak akan pernah bisa akan kau raih. Itu sangat membuat frustasi." Ange menjelaskan situasinya dengan tepat. "Kasusku, saat aku memaksakan diri berenang dengan kekuatan dan kecepatan yang dulu kumiliki, aku nyaris mati karena rasa sakit dan tenggelam karena panik. Aku .... sekarang fokus pada kuliahku dan sedang bertekad jadi jaksa, bagiku, pengalaman dan kegiatannya sama menariknya. Alternatif lain, hanya itu yang kau butuhkan Abby. Tuhan punya rencana indah dibalik semua penderitaanmu. Percayalah."

Abby menatap Ange dengan mata panas karena air mata, lalu mengangguk penuh pemahaman. Rebecca merangkul pundak Abby sayang dan menatap Ange dengan tatapan terimakasih. Alan menepuk punggung tangan Ange. Trev menatap Ange dengan tatapan lurus yang jika Ange sadari, ia akan jengah.

BROKEN WINGWhere stories live. Discover now