Sugesti

231 13 0
                                    

Sebuah cerita dari Wonders_girl

----------

Sore ini, aku sengaja janjian pergi bersama Algi ke salah satu kafe yang tak jauh dari rumah. dia menjemputku seperti biasa-on time, tanpa melewatkan satu menit pun. Tubuh jangkung miliknya di baluti kemeja kota-kota dan lengannya di lipat hingga siku. Dasi yang tadinya masih rapi, kini sedikit di longgarkan. Ya, dia baru saja pulang dari kantor dan langsung menjemputku untuk pergi sore ini.

Hujan telah mengguyur kota kecil yang menjadi tanah kelahiranku dan menyaksikan sebagian kisah hidupku. Hidup yang menyedihkan hingga aku tak tau harus bagaimana untuk menghadapinya, tapi Algi tetap saja menghibur tanpa merasakan capek setelah rutinitas yang di lakukannya sehari-hari.

"Gha, ngapain melamun? Kamu mau pesan apa", ucap Algi yang masih melihat menu yang di sediakan kafe tersebut.

Dengan tarikan nafas pelan, " kamu mau aku pesankan kopi?"

Aku hanya memeberikan anggukan kecil sebagai isyarat setuju dengan tawaran Algi. Algi langsung memanggil salah pelayan untuk memesan 2 gelas kopi dengan makanan kecil.

Selama menunggu pesanannya datang, aku hanya berbincang-bincang hal-hal ringan dan terkadang hanya diam satu sama lain.

"ini pesannya mbak," ucap sang pelayan dengan ramah sambil meletakkan pesanan di atas meja.

"iya. Makasih Mas," balasku.

Aku hanya menatapi kopi hitam yang terhidang dalam cangkir kecil yang terbuat dari keramik. Tak ada niatku untuk meminumnya bahkan untuk menyentuhnya saja, aku enggan.

"Al, kopi ini cocok banget buat melambangkan kehidupanku saat ini. Kelam tanpa warna, walaupun orang lain melihat kopi ini masih menebarkan aroma, tapi orang lain tak tau bagai mana campuran yang ada dalam kopi dan apa saja larutan yang terkandung. Semuanya tertutupi warna hitam, hingga semua tak mengetahui semuanya", aku memutar-mutar gelasnya secara perlahan. "hitam...,"

Aku tak mampu melanjutkannya, semuanya mebuatku semakin sesak hingga tak mampu membedungnya. Semua pertahanan yang beberapa waktu lalu yang aku coba membangungnya, tapi semua runtuh. Aku tak tahu apa yang di fikirkan Algi saat aku ini, dia mengusap bulir-bulir air mata yang membasahi pipiku.

"Aku tau apa yang kamu rasakan dan aku ngerti gimana rasanya. Semua akan terasa sulit, tapi kamu harus tau kalau kamu terus menatap ke depan semuanya akan berlalu begitu saja. Tuhan tidak akan memberi cobaan di luar batas kemampuan umatnya. Jadi, aku mohon kamu harus melewati semuanya dengan bersabar", Ungkapnya.

"Aku udah nggak sanggup, Al. Semuanya terlalu dadakan dan sulit untukku melewatinya begitu saja", balasku.

Aku tenggelam dalam dekapan hangatnya. Mencurahkan semua kesedihanku dan keputusan asaanku saat ini. Baju kemejanya yang tadi kering mulai di basahi buliran air mataku. Bagiku, Algi bukan hanya sebagai teman biasa, tapi seseorang yang selalu datang menghiburku di kala terpuruk. Mungki semua inni di karenakan aku tak memiliki saudara satu orang pun. Dia sudah ku anggap sebagai saudara sendiri.

"Kamu taukan kalau semua kopi itu hitam?" tanya.

Aku meberikan sebuah anggukan kecil sebagai isyarat. Tak lama setelah itu, aku memeperbaiki duduk dan mengusap sisa-sisa air mata yang masih membekas.

"Tapi kamu tau nggak, semua orang yang meracik kopi dengan sendirinya selalu menciptakan euforia tersendiri. Walaupun barista bisa meracik kopi yang sangat nikmat, tapi semua orang belum tentu merasakan kenikmat yang sesuai dengan ekspektasinya. Kenapa? Karena semua orang memiliki takaran kenikmatan untuk dirinya sendiri, sehingga tercipta euforia tersendiri."

"Untuk meracik sebuah kopi haruslah memiliki takaran yang sesuai selera masing-masing, tidak bisa sesuka hati kita. Untuk meraciknya menjadi kopi yang kita inginkan, kita harus tau sebanyak apa takaran kopi yang di inginkan, seberapa banyak gula yang harus kamu tuangkan kedalam sebuah gelas kecil. Mugkin kamu tidak tau harus berapa membasukan gula ke dalam kopi tersebut. Bisa jadi kamu memasukan gula terlalu banyak, bahkan terlalu sedikit. Jadi, resikonya kopi yang kamu racik akan terlalu manis atau malah akan terasa sangat pahit," ucapnya dengan menarik nafas pelan.

"kamu pernah lihat baby baru belajar berjalan. Walaupun beberapa kali dia harus terjatuh dan menahan rasa sakit, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja. Dia terus mencoba terus berdiri dengan hati-hati dan berpegangan benda-benda yang bisa menompangkan bobot tubuhnya. Begitu juga dengan racikan kopi tadi. Karena kamu tidak mau merasakan kopi dengan hal yang sama, kamu akan mencoba meracik kopi yang lebih baik dari kopi sebelumnya. Secara perlahan kamu akan memasukan gula dan mencicipi rasa kopinya, kalau masih kurang kamu akan terus menambahnya sedikit demi sedikit meskipun itu akan memakan waktu yang lama. Tapi, kamu tau apa resikonya?" tanyanya kepadaku.

"paling kopinya akan dingin,"Ungkapku.

Dengan senyuman kecil, "memang resikonya kopinya akan dingin, tapi kamu tau nggak? Kopi kamu sudah hampir berasil, walaupun masih membutuhkan sedikit usaha. Ya, usaha untuk mengulang meraciknya kembali. Kopi kurang nikmat di nikmati saat dingin, bahkan sebagian orang bisa merasakan sakit perut sekalipun. Jadi, kamu harus membuat kopi dengan kondisi yang masih panas."


"oia, bisa aja kan kopinya nggak sesuai dengan takarannya?" tanya ku dengan rasa keingin tahuan yang tinggi.

"Nggak akan gagal, karena saat kamu menuangkan gula saat pertama kali meraciknya kamu sudah memperhitungkan kopi seperti apa yang kamu inginkan. Jadi, kemungkinan gagalnya akan jauh sangat sedikit ketimbang saat pertama kali,"ulasnya.

Lagi, lagi aku hanya memberikan anggukan. Sungguh malangnya diriku, atau aku yang terlalu enggan untuk berbicara. Algi mengajaku untuk pergi ke sebuah kafe yang dulu biasa kami kunjungi bersama, sebelum aku memiliki Dika.

"hm... maaf Al, untuk sekarang aku ingin pulang ke rumah. Aku masih belum merasa lapar," tolakku.

Guratan senyum yang menghiasi lengkung bibirnya tak sirna begitu setelah penolakan yang aku ungkapkan. Apapun alasannya, biarlah menjadi rahasia hatinya dan Tuhan. Setelah membayar bill tagihan Algi langsung mengantarkanku pulang.

LINE~

Suara notif yang sudah lama tak terdengar di telingaku. Aku segera meraih handphone yang terletak di atas nangkas. Tak lama aku langsung membacanya

Malam Nagisa Laira. Aku harap kamu bisa seperti kopi yang ku ceritakan tadi saat kita bertemu. Aku yakin kamu bukan orang yang lemah, bahkan aku yakin kamu adalah salah satu wanita tangguh dari kesekian orang wanita tangguh yang ada di dunia ini.Walaupun sekarang sangat terpuruk akibat kepergian Dika, namun semuanya tak harus berakhir begitu saja bukan? Kamu masih memiliki hari yang panjang walupun kematian bisa menjemput kita kapan saja. Kamu masih bisa menuangkan gula dari toples-toples lain. Setiap gula yang kamu tuangkan adalah semua hal yang bisa kamu datkan dari hidup. Gula yang kamu tuangkan mengisyaratkan kebagian yang harus kamu dapatkan hingga hidupmu terasa bahagia. Jika gula itu masih kurang kamu masih bisa menambahkan hingga hidupmu lebih indah. Dan ku harap kamu mengeriti dengan semua yang ku ungkapkan saat kita bertemu dan ku harap kamu memiliki kehidupan yang baru, serta bangkit dari keterpurukanmu.

Good night, sweet dream.

ALGI

+*^~L�v"

AnalogiWhere stories live. Discover now