Kenangan

229 17 19
                                    

Sebuah cerita dari RynTha

------

Waktu berjalan begitu cepat. Di depan jendela kamarku ini, aku masih dapat mengingat kenangan itu. Saat dia mengejarku, menyorakkan namaku, menyuruhku berhenti berlari, hingga mengancamku.

Hal seperti itukah yang disebut sebagai 'kenangan'? Jika ya, maka sungguhlah aku membenci benda bernama kenangan itu.

Hari ini Minggu
Pukul 09.00 pagi, kulihat tugas-tugasku menumpuk di atas meja belajarku. Namun, aku masih saja bermalas-malasan di depan jendela kamarku ini. Di luar hujan. Semakin menciutkan semangatku untuk mengerjakan semua tugas-tugas itu.

Entah apa yang akan terjadi esok. Aku sama sekali tidak peduli dengan guru Matematika yang selalu mengancam untuk hormat ke bendera selama jam pelajarannya berlangsung bagi siapa saja yang tidak mengerjakan tugas yang beliau berikan. Aku tidak peduli. Kenangan itu telah menyita semua energiku yang seharusnya aku habiskan untuk mengerjakan tugas-tugas itu.
Jangan ditiru. Aku bukanlah pelajar yang baik yang bahkan hanya karna cinta bisa down seperti ini. Maafkan aku ....

Aku tidak peduli gelar juaraku dipindah-tangankan dengan begitu mudah. Aku tidak peduli karna memang aku tidak membutuhkannya lagi.
Cinta ini ... membuatku lelah.
Lelah merangkai kata apa sebenarnya yang terjadi pada hatiku.

"Indah ...." Suara yang sangat familiar itu menyorakkan namaku. Ibu. Dia satu-satunya malaikat yang paling mengerti aku. Walau dia sama sekali tidak mengetahui apapun yang membuatku bersedih.

"Iyaa?" Pelan aku menyahut. Kalau saja itu bukan Ibu, atau Ayah, masa bodoh dia mau menyorakkan namaku sampai bisu 'pun aku tak kan peduli.

Ibu mengetuk pintu kamarku. Dengan malas, aku berjalan menuju pintu dan membukakannya. Hanya demi Ibu. Malaikat tak bersayap yang paling berharga dalam hidupku.

"Ibu mau pergi ke acara ulang tahun tante Tia Di bogor. Kamu bisa jagain rumah? Tetangga juga udah Ibu kasih tau. Ibu gak lama kok. Besok pagi Ibu berangkat dari sana," jelas Ibu tepat ketika aku membuka pintu.

Hatiku getir. Ayah keluar kota dan Ibu harus menghadiri acara ulang tahun itu. Lengkap! Semuanya lengkap. Kesepian ini akan semakin mendalam tanpa kehadiran Ibu hari ini.

Ya aku tau esok pagi aku akan kembali melihat sosok cerah itu. Aku tau aku akan melihat Ibu besok. Namun hari ini ... terasa berbeda.

Aku mengangguk. Hening, hingga Ibu mengusap puncak kepalaku dan pamit pergi.

--
Aku membuka mataku. Kulihat jam menunjukkan pukul 15.00. Aku ketiduran? 6 jam lamanya. Aku segera bangkit dan bergegas mandi.

Hujan saat ini masih melanda kotaku membawa kenangan itu kembali. Aku masih sangat ingat ketika dia berjanji akan kembali dalam waktu sesingkat mungkin. DUSTA. Hingga kini ia sama sekali tidak kembali. Baiklah, aku tidak ingin menyalahkannya lagi.

--

Selesai mandi, aku membuat secangkir kopi untuk menenangkan fikiranku. Mungkin lebih tepatnya menyibukkan diriku agar tidak ada lagi ingatan itu.

Aku menatap secangkir kopi yang kini telah berada di hadapanku. Aku mencicipinya sedikit dan spontan mulutku mencipratkan kembali kopi itu. Kopi itu pahit. Pahit.

Oh tidak! Aku baru saja menyadari bahwa aku belum menambahkan gula pada kopi itu. Aku ... jadi teringat sesuatu. Kopi tanpa gula. Aku ... tanpa dia....
Aku mengangkat kepalaku. Merenung. Me reply ulang cuplikan masa bahagia itu. Tuhan ... aku merindukannya....

AnalogiWhere stories live. Discover now