My Flashlight

338 16 16
                                    

Sebuah cerita dari Axiielodie

------------

Apa kau tahu?
Aku selalu berharap menjadi sepertimu.
Kilauan cahaya yang menembus retina.
Pancaran sinar yang menghilangkan gelap gulita.

Aku selalu ingin ... menerangkan setiap orang agar tidak tersesat.
Agar selalu berjalan ke arah yang benar.
Menjadi sesuatu yang penting di sisi mereka.
Namun ntahlah, itu hanya ilusi belaka.

Aku terkekeh pelan sambil memandangi sebuah lampu akrilik berwarna biru langit dan dihiasi oleh bintang-bintang. "Bodoh kamu Reth, dari tadi kamu ngomong sama lampu?"

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Pandanganku terpaku pada seluruh isi rak yang terang benderang. Aku benar-benar menyukai toko ini. Lampu-lampu yang memenuhi toko ini memang sangat indah.

Tiba-tiba aku dikejutkan oleh sentuhan di bahu yang membuatku tersentak dan refleks membalikkan badan.

"Hmm ... ternyata benar kamu di sini." Seorang pria lengkap dengan kemeja biru dongker tersenyum manis padaku.

Aku membalas senyumannya. "Kamu sudah pulang kerja?" tayanyaku pada Devan--tunanganku.

Devan menggeleng, "Belum, ini lagi jam makan siang. Tapi aku pengennya nyamperin kamu aja."

Aku kembali fokus pada lampu-lampu di sekitar rak. Terus mencari apa yang kubutuhkan. Devan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Kamu mau jadi kolektor lampu ya? Sudah berapa banyak lampu yang berada di kamarmu? Apa kamu tidak bosan setiap hari pergi ke tempat ini?"

Aku tersenyum sendu, "Aku cuma mau nyari lampu tidur aja kok. Lagian kamu kan juga tahu kalau aku memang suka banget ngoleksi lampu-lampu indah kaya gini."

"Aku pengen deh jadi lampu ini. Biar jadi penerang untuk kamu, menghilangkan kegelapan dalam diri kamu, pokoknya yang bisa bikin hari-hari kamu makin cerah. Seperti lampu ini."

Devan tersenyum menanggapi perkataaanku, namun senyuman itu tidak sampai ke mata. Bola mata hazelnya menatapku lembut, membuatku seperti merasakan ada sebuah dunia baru di sana.

"Reth, ikut aku dulu yuk."

Aku mengerutkan dahi bingung, "Kemana?"

"Ikut dulu deh, sebentar."

Aku teringat sesuatu. Benda kedua kesayanganku--setelah lampu, tidak mungkin kutinggalkan di sini sendirian. "Tapi, sepedaku gimana Dev?"

Dia tertawa pelan, "Ga bakal hilang kok. Mana ada yang mau maling sepeda butut kaya gitu sih?"

Aku mendelik sebal. Walaupun itu hanyalah sepeda butut, tapi bagiku sepeda itu menyimpan banyak memori dan kenangan yang sangat indah. Termasuk kisahku waktu SMA, dan saat bertemu dengan Devan.

"Jangan ngambek dong, aku kan cuma bercanda. Yuk, jadi kan?"

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

***

Tak lama aku dan Devan tiba di sebuah taman yang tidak begitu jauh dari kantornya Devan. Dia mengajakku berkeliling taman yang dipenuhi oleh ratusan bunga krisan berwarna-warni.

Sepersekian menit berlalu tetapi aku tidak tahu maksud sebenarnya Devan mengajakku ke tempat ini.

"Dev, kita mau ngapain sih?" tanyaku akhirnya memecah keheningan antara kami berdua. Devan tidak mengindahkan perkataanku, melainkan menarik lenganku hingga tiba di sebuah bangku panjang bercat putih. Matanya mengisyaratkanku untuk segera duduk di sana.

"Tunggu sebentar ya," ujarnya lalu berjalan pergi meninggalkanku.

Devan kembali dengan membawa setangkai bunga krisan berwarna putih. Dia memberikan bunga itu padaku. Alisku bertaut tinggi, benar-benar tidak mengerti maksud dari semua ini.

"Nih ya, kamu bilang kamu pengen banget jadi lampu kan?"

Aku hanya diam sambil menunggu Devan melanjutan perkataannya.

"Aku sebenarnya ga suka kalau kamu berandai jadi lampu, karena lampu adalah benda mati." Devan mengarahkan pandangannya pada bunga yang kini berada di tanganku.

"Aku lebih setuju kalau kamu jadi bunga krisan ini. Hmm ... menurutku, untuk apa kamu jadi cahaya dalam hidupku tapi kamu ga kasat mata? Maksudku, lampu kan benda mati, dan cahaya itu juga bisa meredup suatu saat. Lain halnya dengan bunga krisan ini yang akan tetap hidup jika di rawat dengan baik. Aku berjanji akan menjaga kamu, membiarkanmu mekar setiap saat."

Aku terdiam mendengar tuturan panjang lebar darinya. Mulutku kaku, tidak mampu berkata apa-apa.

"Dan apa kamu tahu makna dari bunga krisan berwarna putih ini?" Devan tersenyum simpul, "Bunga krisan berwarna putih itu melambangkan kejujuran, kesetiaan, dan kepercayaan sepenuh hati. Bisa dikatakan hidup kamu bagai bunga krisan ini. Semua makna itu yang kulihat ada di dalam diri kamu. Aku mencintaimu dengan tulus. Aku ingin kamu selalu menjadi bunga krisan ini."

Setetes air mata turun dari pelupuk mataku. Perlahan aku mendekatinya lalu memeluknya erat. Tidak akan kulepaskan, dan tidak akan ku sia-siakan satu-satunya orang yang mampu memberikan kehangatan dan kenyamanan bagi diriku seperti Devan.

Perasaan bukanlah perumpamaan sebuah barang. Melainkan pencerminan sesungguhnya yang berada dalam diri sendiri. Jadilah diri sendiri, karena diri ini di ciptakan sangat sempurna. Diciptakan seperti apapun juga tidak akan ada masalah asalkan selalu menjalaninya dengan sepenuh hati.

"Bagaimanapun juga, kamu tetaplah lampu penerangku."

AnalogiWhere stories live. Discover now