Sayap-sayap Patah

316 22 9
                                    

Sebuah cerita dari insanaya

--------

Apabila impian diibaratkan sebagai sayap bagi manusia, maka aku mungkin satu-satunya manusia yang tidak mempunyai sayap. Apabila manusia tanpa impian bukan lagi seorang manusia, maka aku mungkin bukan lagi seorang manusia.

Dahulu aku bertanya-tanya, apa rasanya menjadi sesosok manusia yang tidak mempunyai mimpi? Apa yang menjadi tujuan hidup manusia tanpa mimpi? Apa yang menjadi motivasi mereka untuk tetap menjalani hidup apabila mereka tidak mempunyai mimpi? Dahulu, tanya itu tidak terjawab. Namun, Tuhan memberikanku kesempatan untuk dapat merasakan menjadi sesosok manusia tanpa mimpi sehingga aku dapat menjawab sendiri semua pertanyaan itu.

Aku tidak hidup selama 17 tahun tanpa mimpi. Selama aku hidup ada mimpi yang selalu tumbuh dalam diriku. Mimpi yang seiring berjalannya waktu semakin besar tumbuh di dalam diriku. Namun, mimpi yang sudah tumbuh selama 17 tahun itu harus pupus hanya dalam waktu satu hari. Saat di mana aku meminta izin kepada orangtuaku untuk mengejar mimpi itu, saat itulah mimpiku pupus. Saat di mana mimpi itu pupus, saat itulah duniaku hancur tepat di bawah kakiku.

Kini aku bagaikan kapal yang terombang-ambing di tengah lautan tanpa tujuan. Mimpi yang selama ini menjadi tujuan hidupku telah pupus membuatku bingung harus kemana aku sekarang? Apa yang harus pilih sekarang? Jalan mana yang harus kulewati agar aku dapat tetap melanjutkan hidupku?

Mungkin ini kekecewaan terbesar yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Sudah banyak kekecewaan yang aku rasakan selama aku hidup, namun ini yang terparah. Maksudku, hei manusia mana yang tidak kecewa saat impian, mimpi yang sudah mereka rajut selama mereka hidup harus pupus dalam satu hari saja? Manusia mana yang tidak kecewa saat mimpinya tidak bisa di raih? Mereka yang sudah berusaha untuk mewujudkan mimpi mereka saja akan merasakan kecewa saat mereka gagal mewujudkan mimpi itu. Bagaimana denganku? Aku bahkan belum sempat berusaha untuk mewujudkan mimpi itu namun, mimpi itu harus rela kukubur dalam-dalam dan aku lupakan.

Terkadang, egoku masih belum bisa menerima kenyataan mengerikan itu. Egoku memberontak ingin mencoba mewujudkan mimpi yang telah kurajut selama ini. Namun, jalan menuju mimpi itu tertutup oleh dinding tak kasat mata yang begitu kokoh. Dinding yang sampai kapanpun tak akan pernah bisa aku hancurkan. Dinding yang membuatku sadar bahwa aku memang tidak akan bisa mewujudkan mimpi itu. Dinding bernama restu orangtua.

Ya, kedua orangtuaku tidak mendukung mimpi yang sudah tumbuh dalam diriku. Mereka tidak memberikanku restu dan aku tidak dapat melakukan apapun saat orangtuaku sudah melarang karena aku meyakini bahwa tanpa restu orangtua, semua tidak akan berjalan baik.

Sekarang aku telah menentukan tujuan hidupku. Ya, mimpi orangtuaku kini menjadi tujuan hidupku. Maka kini yang kulakukan hanyalah menjalani hidup seperti biasa. Melakukan yang terbaik dalam hidupku agar aku dapat mewujudkan mimpi orangtuaku. Apabila seseorang berkata kepadaku, apakah aku bahagia menjalani hidup ini? Mungkin aku tidak bisa menjawabnya,karena di satu sisi aku sangat sedih karena mimpiku tidak bisa kuraih. Namun, di sisi lain aku bahagia karena setidaknya aku dapat mencoba untuk mewujudkan mimpi orangtuaku dan apabila aku berhasil mewujudkannya aku dapat melihat senyum bangga terukir di wajah mereka.

Aku berharap, sayap yang dahulu sudah patah semoga dapat digantikan dengan sayap baru yang lebih kuat. Sayap yang terbentuk dari untaian doa dan restu orangtua. Sayap yang apabila di kepakkan akan memberikan manfaat untukku dan orang di sekitarku dan sayap yang akan menerbangkanku ke tempat-tempat indah di dunia ini.

AnalogiWhere stories live. Discover now