Chapter 8. Off Hours

Start from the beginning
                                        

Shea mengangkat bahu kecil seperti tak kesah. "Orangnya sopan kok, Mas. Ramah juga, nyetirnya enak, bisa diandelin, dan nggak aneh-aneh," jawabnya dan kembali menatap menu.

Putra mengangguk pelan, seakan mencerna. "Masih lajang?"

"Aku nggak tau pasti sih, tapi kayaknya emang belom nikah."

Putra hanya mengangguk lagi, ekspresinya netral.

"Emangnya kenapa, Mas?"

"Nggak, bukan apa-apa," jawab Putra cepat, lalu mengalihkan pandangannya kembali ke menu. "Kamu mau pesen apa?"

Shea tersenyum kecil dan menyebutkan menu apa yang ingin ia makan. Di luar restoran, Dewa tengah merokok di angkringan seberang sembari bermain catur dengan petugas parkir yang tengah beristirahat. Ia menunggu tanpa tau bahwa namanya baru saja menjadi topik singkat dan cukup berarti di dalam restoran tersebut.

...

Hampir tiga jam lamanya Shea habiskan di restoran itu—makan, mengobrol, kemudian latihan pembacaan skrip berdua yang ternyata jauh lebih melelahkan dari yang ia bayangkan. Putra benar-benar aktor terlatih. Setiap dialog dibedah, setiap jeda dibahas, dan setiap emosi pun dipertanyakan alasannya. Diskusi mereka bolak-balik, kadang melompat, kadang terlalu detail, sampai-sampai rasanya kepala Shea terasa penuh. Bukan lelah yang buruk, tapi jenis kelelahan yang membuat otak seolah diperas habis-habisan.

Perjalanan pulang di dalam mobil nyaris tanpa suara. Shea terus menatap keluar jendela, lampu-lampu jalan berlari mundur, sementara pikirannya masih tertinggal pada potongan-potongan dialog dan catatan kecil yang sempat ia coret di naskah. Tubuhnya pegal, bahunya berat, dan matanya mulai perih meminta untuk memejam secepat mungkin tapi tidak bisa karena dirinya masih mengenakan softlens.

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah. Dewa turun cepat dan layaknya biasa, membukakan pintu untuk Shea.

"Makasih, Mas," kata Shea lirih dengan nada yang sudah kehilangan energi.

"Sama-sama, Shea. Selamat istirahat," balas Dewa sambil tersenyum tipis, lalu menutup pintu dengan hati-hati.

Shea baru melangkah beberapa langkah menuju pintu depan ketika ia tersadar jikalau di tangan kanannya masih ada kotak berukuran sedang yang diikat tali. Pesanan take away dari restoran tadi dan ia hampir melupakannya. Ia berhenti kemudian berbalik.

"Mas Dewa."

Dewa yang sudah hendak masuk kembali ke mobil itu menoleh.

"Ini buat Mas. Tadi kan Mas udah mau nungguin aku lama banget," ujar Shea sambil menyodorkan kotak tersebut.

Dewa refleks melangkah mendekat, menerima kotak itu dengan dua tangan. "Makasih, Shea. Tapi besok lagi nggak perlu repot-repot, kan memang udah jadi tugas saya," katanya agak sungkan.

Shea menggeleng pelan menolak. "Harus dimakan secepatnya yah, Mas," pesannya.

Dewa tersenyum kecil dan mengangguk. Shea pun masuk ke rumah tanpa menoleh lagi.

Dewa bergegas memarkirkan mobil ke garasi, mematikan mesin, lalu berjalan menuju area belakang rumah. Kotak itu ia pegang, sementara tangan satunya menggaruk tengkuk bingung setengah bersalah. Tadi ia sudah makan nasi kucing dan gorengan di angkringan dekat restoran dan perutnya jelas tidak kosong. Ia tau tak mungkin menghabiskan semua ini sendirian.

Langkah Dewa melambat ketika hampir sampai di kamarnya. Dari pintu kamar yang lain, Lilis keluar sembari membawa gelas dan satu bungkus susu kental manis rasa cokelat.

"Lilis?" sapa Dewa terlebih dahulu. "Belom tidur?"

"Eh, Mas Dewa," balas Lilis sambil tersenyum. "Belom, Mas. Tadi habis maraton drakor. Mas baru pulang?"

"Iya." Dewa lalu mengangkat kotak di tangannya. "Lis, mau makan ini nggak? Saya nggak bakal habis sendirian soalnya tadi udah makan nasi kucing sama gorengan."

Lilis tampak ragu sesaat, lalu mendekat. "Emang isinya apa, Mas?"

"Nggak tau," jawab Dewa jujur sambil menarik meja kecil dan duduk lesehan di lantai. Ia membuka ikatan talinya lalu kotaknya dibuka secara perlahan.

Di dalamnya tersusun rapi beberapa potong sushi.

"Wihhh...," gumam Lilis kagum dan perutnya langsung terasa lapar. "Kayaknya enak, Mas."

"Ambil aja, Lis," kata Dewa santai.

Lilis duduk di dekatnya, meletakkan gelas dan bungkus susu yang belum sempat dibuat di sampingnya. Lalu mereka mulai makan berdua.

"Tadi Mas nganterin Mbak Artis kemana? Acara TV lagi?" tanya Lilis penasaran setelah menelan satu potong sushi.

"Bukan, Lis," jawab Dewa sambil mengunyah. "Saya nganterin Shea buat makan malam."

"Eh? Makan malam sama siapa, Mas?"

"Sama Mas Putra."

"Hah? Putra yang artis itu?" suara Lilis naik setengah oktaf dan matanya membesar penuh keterkejutan. "Yang ganteng banget itu?"

Dewa mengangguk pelan sambil mengambil sepotong sushi lagi. Reaksi Lilis membuatnya terkekeh kecil. "Iya, yang itu. Kenapa? Kamu suka, Lis?"

Lilis mengangguk cepat. "Semua perempuan pasti suka Putra, Mas. Dia kan gantengnya kayak nggak masuk akal. Terus aktingnya keren banget lagi," pujinya berangan-angan.

Dewa tertawa kecil mendengar penilaian jujur itu. "Ibu sama adik perempuan saya juga gitu, Lis. Kalo ada filmnya Mas Putra, rumah bisa heboh kayak nonton berita revolusi negara."

Lilis ikut tertawa kecil demgan matanya masih berbinar jelas belum selesai terpesona. Beberapa detik kemudian, ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya menurun satu tingkat seperti hendak menyampaikan gosip penting.

"Mas..." bisik Lilis. "Mbak Artis... pacaran sama Putra, kah?"

Dewa langsung berhenti mengunyah sesaat, menatap sushi di tangannya seolah jawabannya ada di sana. Ia mengerutkan kening sebentar lalu mengangguk kecil tapi juga menggeleng setelahnya.

"Saya nggak yakin, Lis," jawab Dewa jujur. "Tapi mereka memang deket. Kenapa emangnya?"

Lilis cepat-cepat tersenyum dan menggeleng kecil, pura-pura santai. "Nggak apa-apa, Mas. Cuman tanya aja."

Tapi dalam hati, pikiran Lilis bergerak lebih cepat dari bibirnya. Jikalau Shea benar-benar pacaran dengan Putra, berarti kemungkinan Shea sebagai pesaingnya itu nol besar. Hatinya agak ringan walau ia sendiri tak sepenuhnya tau perasaan ini seharusnya disebut apa.

 Hatinya agak ringan walau ia sendiri tak sepenuhnya tau perasaan ini seharusnya disebut apa

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Not in the ScriptWhere stories live. Discover now