Chapter 6. Reuniting with Putra

456 60 2
                                        

Hari ini adalah hari yang telah Shea tandai sejak awal tahun—hari pertama project meeting dan pembacaan naskah perdana untuk film terbaru garapan Hendra Wicaksono. Sejak pengumuman nama-nama yang tercantum di project ini, antusiasme publik langsung melonjak. Tidak ada yang terkejut ; Hendra adalah salah satu sutradara paling berpengaruh di Indonesia, sutradara yang hampir selalu hadir dalam nominasi festival kancah nasional maupun internasional. Tahun lalu filmnya tayang di Jepang, dua tahun sebelumnya masuk program khusus di Taipei Film Festival. Shea tau, project ini bukan sekadar pekerjaan, ini juga merupakan sebuah validasi, kesempatan langka, dan batu loncatan besar dalam kariernya.

Gedung Arwana Pictures menyambut Shea dengan hawa dingin AC sentral dan lobi yang dipenuhi poster film legendaris. Panel dindingnya berwarna abu metalik, dan lampu-lampu LED tertata modern. Staf resepsionis langsung mengarahkan ia ke lantai empat. Lift bergerak pelan, memberi Shea jeda beberapa detik untuk menarik napas panjang dan mengumpulkan fokusnya.

Koridor lantai empat tampak aktif ramai. Beberapa kru artistik melintas membawa papan moodboard ukuran sedang berisi palet warna dan referensi visual. Staf wardrobe berdiri bersandar di dinding membuka folder kain dan sketsa kostum sambil berdiskusi. Dari area sofa, terdengar percakapan tim kamera yang meninjau catatan awal soal gaya pengambilan gambar seperti tone, framing, dan pendekatan visual yang diminta sutradara.

Sebuah ruangan konferensi sudah dipersiapkan. Di dalamnya, meja panjang dipenuhi naskah, kalender produksi yang diselipkan di folder transparan, serta booklet berisi karakter breakdown lengkap dengan referensi visual. Kursi-kursi sudah terisi sebagian oleh para aktor, kru inti, dan beberapa perwakilan departemen.

Dan di kursi paling depan sebelah kanan, tepat di samping tempat duduk yang disediakan untuk Shea, duduklah pria bernama Putra Admojo. Shea merasakan sedikit ketenangan begitu melihat Putra sudah berada di sana, menunduk serius memeriksa lembar naskah. Caranya membalik halaman saja terlihat metodis. Putra tidak pernah datang terlambat apalagi datang tidak siap. Ia adalah aktor yang sudah terlatih sejak berumur delapan tahun alias sudah dua puluh satu tahun berada di depan kamera. Ia tergabung di agensi dengan aturan paling ketat di industri tanah air, dan kini menjadi salah satu aktor papan atas dengan reputasi nyaris sempurna. Shea duduk di kursi kosong di sebelahnya, menyapa dan mengobrol ringan sembari membuka naskah yang sudah ada di mejanya.

Rina menaruh air minum dan dompet kecil berisi alat tulis di depannya. Sebagai pemeran utama perempuan, Shea harus memberi perhatian ekstra pada setiap detail. Ia membaca ulang sinopsis yang ditempel di halaman depan, memastikan masih mengingat arc perjalanan emosional karakternya—karakter yang jauh lebih kompleks daripada peran-peran sebelumnya, dengan luka batin, ritme bicara yang lebih lambat, dan dinamika hubungan yang intens dengan karakter Putra.

Ketika Hendra memasuki ruangan, seluruh percakapan berhenti. Sutradara itu mulai memaparkan visi film ; arah tone, gaya visual, referensi film luar negeri, atmosfer emosi, dan struktur adegan yang diubah dari draft terakhir. Shea mendengarkan dengan seksama, mencatat setiap poin penting di margin naskahnya. Ia menyadari intensitas project ini sedikit berbeda seperti lebih menuntut pemahaman karakter mendalam.

Setelah penjelasan konsep selesai, Hendra memberikan aba-aba singkat kepada asisten sutradara untuk memulai sesi pembacaan naskah perdana. Para kru dan aktor beralih fokus ke lembaran naskah masing-masing dan suasana ruang konferensi berubah jadi lebih hening terisi ketegangan yang antusias.

Shea merapikan posisi duduknya sementara Putra di sampingnya sudah menandai beberapa bagian dengan pensil miliknya. Sesi ini bukan untuk akting penuh, namun cukup penting untuk menangkap ritme dialog, alur emosi, dan dinamika antar karakter.

Ketika asisten sutradara mengucap, "Mulai dari halaman satu," suara kertas yang dibalik nyaris terdengar serempak.

Pembacaan dimulai. Putra membaca bagiannya dengan tenang serta ritme nadanya penuh bobot. Pemilihan jedanya konsisten, membentuk hubungan emosional samar yang cocok dengan karakter yang diperankan. Shea mengimbangi dengan membaca dialognya perlahan, mencoba memahami apakah kalimat itu harus terasa dingin, ragu, atau ada sedikit luka di balik suaranya.

Not in the ScriptWhere stories live. Discover now