Udara pagi Ibu Kota masih lembab ketika Dewa menurunkan resleting jaketnya dan berdiri di sisi pos satpam dengan matanya taj lepas menatap rumah bercat putih di kawasan elit Jakarta Selatan itu. Pandangannya mengedar sejenak—halaman depannya tertata rapi, taman eloknya tampak terawat sempurna, dan lampu taman yang masih menyala menambah kesan tenang. Jam baru menunjukkan pukul lima tepat, sementara langit masih menyimpan sisa-sisa gelap subuh.
Di tangannya tergenggam kunci mobil yang baru saja diberikan oleh pak satpam rumah ini. Tanpa perlu banyak instruksi, Dewa sudah tau apa yang harus ia kerjakan. Ia mengikuti langkah pak satpam menuju garasi, membantu membuka pintu besi perlahan agar engselnya tidak berderit. Begitu pintu terbuka, pandangannya disambut beberapa mobil mewah mengkilap yang berjejer rapi di dalam.
Mobil yang akan Dewa kemudikan sudah disebutkan sejak awal—sebuah Mercy hitam, sama seperti yang ia gunakan untuk test drive kemarin. Ia membuka pintu mobil itu hati-hati, masuk ke dalam, dan menyalakan mesinnya. Suara halus mesin Eropa itu langsung terdengar kontras dengan sunyi pagi. Ia pun memindahkan tuas transmisi, membawa mobil keluar dari garasi hingga berhenti mulus di halaman depan, tepat di depan pintu utama rumah.
Setelah mematikan mesin, Dewa keluar dari mobil dan melepas jaketnya, menaruhnya rapi di kursi depan. Ia berjalan kembali ke garasi untuk mengambil kain lap, lalu kembali ke mobil. Dengan gerakan telaten, tangannya mulai bekerja ; mengelap bagian kaca, bodi, hingga gagang pintu satu per satu. Setiap usapan terasa seperti bentuk kecil dari rasa syukurnya—walaupun pekerjaan ini hanya akan berjalan selama seminggu.
Cahaya matahari pun mulai muncul menyorot wajah Dewa yang fokus bekerja. Ia masih bisa merasakan sisa semangat dari hari sebelumnya.
Kemarin, setelah panggilan dengan Brian terputus, Dewa langsung menyelesaikan makannya dengan cepat. Ia bahkan tidak sempat meneguk kopi yang sudah ia buat karena terlalu terburu-buru masuk ke kamar mandi. Dalam waktu kurang dari 10 menit, ia sudah berdiri di depan cermin kecil yang retak dengan rambut setengah basah dan semangat yang jarang ia rasakan. Ia mengenakan kaos terbagusnya—kaos berwarna abu polos—dilapisi dengan kemeja kotak-kotak biru navy yang disetrika seadanya, jeans yang mulai memudar, dan sepatu tua yang bersih. Sebelum berangkat, ia menyemprotkan sedikit parfum murah, berpikir bahwa setidaknya ia tidak akan bau matahari ketika bertemu orang penting.
Motor Beat karbunya meraung kecil saat di-starter, suaranya mengisi gang. Dewa melaju pelan melewati jalanan Jakarta yang ramai oleh kendaraan siang hari—juga diwarnai tukang gorengan di pinggir jalan, pedagang sayur yang berkemas, dan ojek yang berjejer di trotoar. Matahari sudah tinggi, panasnya memantul di aspal dan udara terasa lebih berat sampai membuat keringat menetes di pelipisnya.
Saat tiba di lokasi yang diberikan, jam di ponsel Dewa menunjukkan pukul 12.40 siang. Brian sudah menunggunya di pinggir halaman tempat syuting dimana para kru sedang makan siang di bawah pohon besar. Udara terasa gerah dan bau makanan bercampur dengan aroma kabel panas dari peralatan lainnya.
Mereka sempat berbicara sebentar sebelum seorang perempuan berpenampilan rapi datang menghampiri. Wajahnya menunjukkan kesibukan yang tidak main-main. Dialah Rina, manajer artis yang disebut Brian di telepon. Sinar matahari membuat kemeja putihnya tampak sedikit berkilau, dan cara ia menatap Dewa sekilas saja sudah cukup untuk menunjukkan bahwa perempuan ini terbiasa memberikan perintah.
Rina hanya menatap Dewa beberapa detik kemudian langsung mengulurkan kunci mobil dan memintanya mengemudi. Tidak banyak kata—semua cepat dan efisien.
Selama 15 menit, Dewa mengendarai mobil memutari kawasan tersebut. Ia menjaga jarak, memperhatikan setiap rambu, dan menyesuaikan gas di setiap tikungan. Tak ada percakapan berarti, hanya suara mesin yang berpadu dengan deru lembut AC. Dari cara Rina duduk di kursi sampingnya dengan tangan terlipat, Dewa tau wanita itu sedang menilai gerakannya dengan seksama.
YOU ARE READING
Not in the Script
RomanceSepenggal kisah romantis antara mbak artis cantik bernama Shea Ayu dan juga mas sopir bernama Dewangga Gunawan.
