Chapter 8. Off Hours

287 54 1
                                        

Malam ini, Shea bersiap tanpa banyak perubahan. Dress yang ia kenakan sederhana ; potongan lurus dengan warna netral yang cukup menonjolkan siluet tubuhnya. Riasannya tetap ringan, nyaris sama seperti siang tadi hanya dirapikan sedikit di bagian mata, dan rambutnya masih sisa penataan pemotretan tadi. Malam ini dirinya akan makan malam bersama Putra sesuai janji mereka beberapa waktu lalu.

Mobil berhenti di area parkir restoran. Begitu mesin dimatikan, Shea mengambil botol parfum kecil dari tasnya, menyemprotkan sekali ke pergelangan tangan dan satu kali di belakang telinga.

"Mas, tolong bantu bawain hadiahnya yah," pinta Shea sambil menatap ke spion depan.

Dewa mengangguk kemudian mematikan mesin, turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Shea. Setelah itu barulah ia menuju bagasi dan mengangkat sebuah kotak besar yang terbungkus rapi. Hadiah itu sudah Shea siapkan jauh-jauh hari, ia bahkan sempat meminta pendapat Rina, yang langsung setuju bahwa hadiah itu pas dan tidak berlebihan.

Shea melangkah masuk lebih dulu ke dalam restoran. Dewa mengikutinya beberapa langkah di belakang. Ia mengenakan jeans yang sudah dipakai beberapa hari terakhir tapi tetap bersih, sepatu baru yang masih kaku saat melangkah, kaos sederhana, jaket, dan topi yang menutupi sebagian wajahnya.

Setelah melewati pintu masuk, seorang pegawai menyambut menghampiri dengan senyum profesional.

"Selamat malam. Untuk berapa orang, Miss?"

"Aku ada reservasi, atas nama Putra," jawab Shea singkat.

Pegawai itu mengangguk cepat lalu mengarahkan mereka menuju lift kecil di sisi ruang, dan berhenti di lantai tiga. Sebuah papan kecil bertuliskan Private Room terpampang di samping pintu geser. Seorang pegawai membukakan pintu kayu tersebut lalu mempersilahkan Shea untuk masuk terlebih dahulu.

Putra sudah ada di dalam dan  bergegas berdiri begitu melihat Shea. Pria tampan itu mengenakan kemeja kasual berwarna gelap yang dimasukkan rapi ke dalam celana kain. Senyumnya hangat saat menyambut.

"Maaf agak lama, Mas. Tadi soalnya macet banget, ada kecelakaan," kata Shea sambil mendekat.

"Nggak apa-apa," jawab Putra ringan.

Kalimat itu belum sempat disambung ketika pandangan Putra tertahan pada sosok di belakang Shea—Dewa yang masuk membawa sebuah kotak besar. Senyum di wajah Putra meredup sedikit, nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan dengan saksama.

"Oh iya," Shea menoleh sebentar ke Dewa, "taruh di kursi aja, Mas."

Dewa mengangguk, berjalan ke sudut ruangan, dan meletakkan kotak itu di kursi kosong.

"Nanti kalo udah mau selesai aku kabarin. Makasih yah, Mas," kata Shea pada Dewa.

"Sama-sama," balas Dewa sopan. "Saya keluar dulu."

Shea mengangguk sambil tersenyum kecil. Dewa melangkah keluar kemudian pintu tertutup pelan di belakangnya, menyisakan Shea dan Putra berdua di ruangan.

Putra menarik napas ringan seolah menggeser pikirannya, lalu melangkah dan menarik kursi untuk Shea. "Silahkan," katanya.

Shea duduk, mengangguk tanda terima kasih. Mereka lalu membuka menu yang sudah disiapkan di meja.

Beberapa menit pertama diisi obrolan ringan seperti tentang jadwal atau tentang cuaca Jakarta yang selalu sulit diprediksi. Sampai akhirnya Putra menutup menunya perlahan dan menatap Shea dengan raut penasaran yang ditahan-tahan.

"Btw, soal sopir kamu," kata Putra sengaja menggantung sesaat.

"Mas Dewa?"

"Ya, apa dia nggak terlalu muda buat jadi sopir kamu?" tanya Putra akhirnya sembari jarinya mengetuk halus tepi menu.

Not in the ScriptTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon